Apakah perbuatan natural pasti bermoral?
Mengapa standar baik-buruk dan moralitas harus kembali ke Wahyu
Sebagian kalangan menganggap bahwa perbuatan manusia, apakah disifati baik atau buruk, bisa ditentukan oleh akal manusia. Salah satu caranya adalah melihat apa yang natural terjadi di alam. Hubungan seksual, misalnya, adalah sesuatu yang natural terjadi di semua anggota kingdom Animalia dan merupakan pemenuhan kebutuhan biologis. Maka, dilakukannya perbuatan tersebut oleh manusia sebagai anggota kingdom Animalia dianggap sebagai sesuatu yang sah-sah saja, baik dilakukan dengan atau tanpa hubungan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai sebatas konstruksi sosial semata yang merupakan produk evolusi kultural. Prinsip ini juga dianggap berlaku pada perbuatan-perbuatan lain, semisal hubungan sesama jenis. Maka, tidak valid jika perbuatan-perbuatan ini dianggap “tidak natural” dan terlarang.
Problem utama dari pandangan semacam ini adalah keliru menyamakan antara “what is” (apa yang terjadi) dan “what ought to be” (apa yang seharusnya dilakukan). Tidak ada implikasi rasional dari terjadinya sesuatu di alam dengan nilai moral suatu perbuatan. Terlebih, perbuatan yang terjadi di kingdom Animalia sangat beragam dan bervariasi, serta saling berkontradiksi. Menjadi tidak jelas perbuatan mana yang harus dipilih sebagai tindakan yang bermoral.
Lebih dari itu, jika segala sesuatu yang terjadi secara natural dianggap pasti bermoral, ini akan berimplikasi pada banyak sekali perilaku-perilaku berbagai spesies hewan yang biasa dianggap “tindak pantas” oleh standar moral beragam peradaban manusia menjadi boleh dilakukan. Sebagian contohnya adalah incest (hubungan seksual antara anggota keluarga dekat), kanibalisme (fenomena memakan sesama spesies), atau bahkan infanticide (pembunuhan bayi spesies yang baru lahir). Faktanya, semua fenomena di atas bisa ditemukan terjadi di sebagian spesies hewan. Apakah lantas kita menganggapnya boleh dilakukan?
Lebih jauh lagi, teori evolusi Darwin menjelaskan bahwa mekanisme seleksi alam akan memilih spesies paling unggul untuk bertahan dan berkembang. Spesies-spesies lain yang memiliki fitur-fitur berbeda akibat mutasi genetik yang berbeda bisa gagal berkembang, bahkan punah jika gagal beradaptasi denhan lingkungan. Apakah fenomena “survival of the fittest” demi terwujudnya makhluk hidup unggul ini lantas menjustifikasi perbuatan eugenics ala Nazi, yang bertanggung jawab terhadap genosida Yahudi karena dianggap ras yang inferior?
Tentu saja tidak! Kekeliruan-kekeliruan di atas bersumber dari kekeliruan utama dalam memahami sumber moralitas. Lalu, bagaimana kerangka berpikir yang benar dalam memahami moralitas? Para teolog Muslim berargumen bahwa suatu perbuatan manusia esensinya tidaklah memiliki nilai moral yang inheren pada perbuatan tersebut. Betul bahwa setiap perbuatan bisa dikategorikan sebagai baik dan buruk berdasarkan kriteria tertentu, tapi pemilihan kriteria ini pun relatif. Karena itu, pada akhirnya baik-buruk perbuatan manusia harus kembali kepada Ketentuan Sang Pemilik manusia itu sendiri. Tanpa kembali ke wahyu, konsep moralitas pada akhirnya akan menjadi serba subjektif.
Imam Abu Hamid al-Ghazali merangkum dengan apik dalam karya beliau, Al-Iqtishod fil I'tiqod. Menurut beliau, suatu perbuatan yang tadinya netral secara moral hanya bisa dianggap “baik” atau “wajib dilakukan” jika dipilih oleh Sesuatu Yang Menentukan. Yang bisa menjadikan suatu perbuhatan wajib hanyalah Tuhan sebagai Pencipta dan Pemilik manusia. Fakta bahwa sesuatu bersifat wajib atas perintah Tuhan hanya bisa diketahui melalui Utusan Tuhan (Rasul) yang validitasnya dibuktikan melalui mu'jizat. Fungsi akal bukanlah menentukan baik-buruk perbuatan, tapi membuktikan keberadaan Tuhan Yang Bebas Berkehendak dan membuktikan validitas klaim kenabian, baru kemudian akal digunakan untuk memahami perintah Tuhan. Ketika Tuhan mengabarkan bahwa suatu perbuatan akan mendapat hukuman, akal memahami bahwa perbuatan tersebut buruk dan harus dihindari. Ketika Tuhan mengabarkan bahwa suatu perbuatan akan mendapat pahala, akal memahami bahwa perbuatan tersebut baik dan harus dilakukan.
Maka, menjadikan wahyu sebagai moral kompas adalah sesuatu yang rasional, alih-alih menggunakan fenomena natural sebagai justifikasi hawa nafsu kita. Bahkan, esensinya, menolak kewajiban suatu perintah adalah bentuk penolakan terhadap Otoritas Tuhan. Dalam lingkup yang lebih luas, makna dan tujuan hidup pun hanya bisa didapat dari wahyu saja. Karena sejatinya kita hanyalah hamba yang sedang menjalankan tugas dari Majikan kita dan setiap harinya berjalan mendekati-Nya.
Wallahu a'lam.
Lampiran teks Al-Iqtishod fil I'tiqod karya Al-Ghazali:
أن الوجوب كما بأن عبارة عن نوع رجحان في الفعل، والموجب هو الله تعالى لأنه هو المرجح، والرسول مخبر عن الترجيح، والمعجزة دليل على صدقه في الخبر، والنظر سبب في معرفة الصدق، والعقل آلة النظر والفهم معنى الخبر، والطبع مستحث على الحذر بعد فهم المحذور بالعقل، فلا بد من طبع يخالفه العقوبة للدعوة ويوافقه الثواب الموعود ليكون مستحثاً، ولكن لا يستحث ما لم يفهم المحذور ولم يقدره ظناً أو علماً، ولا يفهم إلا بالعقل والعقل لا يفهم الترجيح بنفسه بل بسماعه من الرسول، والرسول لا يرجح الفعل على الترك بنفسه بل الله هو المرجح والرسول مخبر، وصدق الرسول لا يظهر بنفسه بل المعجز، والمعجزة لا تدل ما لم ينظر فيها، والنظر بالعقل، فإذاً قد انكشفت المعاني
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: