Menggunakan Logika Yunani untuk Mengimani Tuhan?
Perlukah menolak logika atau sains karena merupakan produk ilmu non-Islam?
Salah satu keberatan yang sering muncul saat kita mengaitkan “iman” dengan “logika” adalah tentang validitas “logika” itu sendiri yang diragukan karena dianggap sebagai produk Yunani. Bagaimana mungkin “iman” yang diajarkan para Nabi “dicampuradukkan” dengan “logika” yang merupakan produk Yunani? Dengan mensejajarkan “logika” para filsuf dan “keimanan” ajaran Nabi, tidakkah kita sedang “menabikan” para filsuf seperti Aristoteles atau Plato?
Celakanya, pandangan semacam ini belakangan tidak sekedar muncul untuk meragukan validitas logika saja. Salah satu pengalaman pertama saya terpapar dengan pandangan semacam ini terjadi saat saya SD ketika salah seorang pengajar menolak teori heliosentris bahwa bumi mengelilingi matahari. Alasannya: teori itu merupakan produk orang kafir yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Di kasus yang lain, penolakan juga pernah muncul terhadap teori evolusi Darwin dengan alasan yang serupa: bahwa dia seorang ateis yang tidak percaya Tuhan.
Di tulisan ini saya tidak ingin membahas bagaimana menggunakan akal untuk sampai pada keimanan justru diajarkan oleh Al-Qur’an dan dicontohkan para Nabi. Saya pernah membahasnya singkat di blog ini dan menulis cukup panjang soal itu di buku “Logika Keimanan”. Saya juga tidak ingin membahas bagaimana Al-Qur’an tidak secara pasti / qath’i mengunggulkan teori geosentris maupun heliosentris ataupun membahas bagaimana kita mesti bersikap saat sekilas ada pertentangan antara wahyu dan produk pengetahuan lainnya. Saya juga tidak ingin membahas panjang kekeliruan klaim bahwa Charles Darwin seorang ateis (ia bahkan hampir menjadi pendeta semasa muda meskipun kehilangan putrinya tercinta membuatnya cenderung agnostik di akhir hayatnya). Saya ingin fokus pada satu hal: mengapa menolak suatu produk pengetahuan semata-mata karena asal-usulnya tidaklah rasional.
Kita mulai dari logika. Apakah betul ilmu logika yang kita kenal sekarang produk para filsuf Yunani kuno? Sebagai disiplin ilmu, kita bisa jawab: ya, meskipun sejarawan juga banyak menemukan produk-produk “logika” di peradaban kuno yang lain. Satu yang cukup jelas: saat Islam berkembang di jazirah Arab, “logika” sebagai disiplin ilmu sudah ada.
Tapi, fakta bahwa “logika” bukanlah ilmu yang pertama kali muncul dari rahim peradaban Islam tidak lantas membuatnya kehilangan validitas. Logika pada dasarnya menjelaskan bagaimana manusia berpikir untuk menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ia miliki hingga sampai kepada pengetahuan yang baru. Imam Al-Akhdhari, dalam karya beliau yang masyhur As-Sulam Al-Munawraq dengan indah menjelaskan:
وبعد فالمنطق للجنان *** نسبته كالنحو للسان
“Selanjutnya, ilmu logika/manthiq bagi akal, sebanding kedudukannya dengan grammar/nahwu bagi lisan.”
Layaknya grammar yang mengatur bagaimana lisan berbicara, logika sejatinya mengatur bagaimana akal berpikir. Karena logika sebagai disiplin ilmu menjelaskan bagaimana manusia berpikir, maka esensinya ilmu ini tidak secara spesifik “berbau” Yunani ataupun peradaban-peradaban lain. Itu mengapa meskipun tidak sedikit ulama’ yang melarang umat (khususnya awam) belajar ilmu ini, banyak sekali ulama’ yang justru mempelajarinya dan mengintegrasikannya dalam kerangka keilmuan Islam. Misalnya: logika sangat erat dibutuhkan dalam ilmu filsafat hukum Islam (ushul fiqih) untuk mengatur bagaimana mengambil kesimpulan yang tepat dari teks wahyu hingga sampai pada kesimpulan hukum fiqih dari suatu perbuatan. Tentu saja, peran logika juga sangat krusial dalam ilmu teologi (kalam) untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang pokok-pokok keimanan Islam secara rasional. Tidak heran Imam Al-Ghazali sampai menyebut siapa yang tak menguasai logika, ilmunya tak dapat dipercaya.
Hal yang sama berlaku untuk sains. Sains sebagai disiplin ilmu sebetulnya bukanlah monopoli peradaban tertentu. Menggunakan metode saintifik, seperti menyusun hipotesis, mengujinya melalui eksperimen, menganalisa hasilnya sehingga terkristalisasi menjadi teori saintifik yang bisa digunakan untuk memprediksi bagaimana alam bekerja adalah langkah yang valid. Siapa pun orangnya, Muslim ataupun bukan, teis ataupun ateis, sepanjang konsisten dan disiplin menggunakan metodologi yang sama berpotensi menghasilkan kesimpulan saintifik yang sama juga. Bahkan, arguably, salah satu pionir metodologi saintifik yang memberi peranan penting bagi eksperimen dalam mempelajari alam justru adalah Ibnu Al-Haytham yang seorang Muslim. Ini mengapa Imam Al-Ghazali dalam pembukaan Tahafut al-Falasifah justru mengkritik agamawan yang serampangan menolak ilmu-ilmu alam hanya karena diusung oleh para filsuf yang mengadopsi filsafat Yunani. Artinya: validitas suatu ilmu adalah satu hal sedangkan peradaban di mana ia berkembang menjadi ilmu adalah hal lain.
Memang betul, keliru memposisikan logika (seperti menganggap bahwa baik-buruk suatu perbuatan bisa sepenuhnya disimpulkan dari akal semata) ataupun sains (seperti menganggap bahwa sains adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang valid) bisa membuat kita sampai pada kesimpulan yang salah. Tapi, itu bukan lantas membuat kita menolak validitas ilmu-ilmu tersebut secara mutlak. Yang diperlukan justru belajar bagaimana meposisikan ilmu-ilmu tersebut dalam kerangka epistemologi yang tepat sehingga kita sampai pada kesimpulan yang tepat juga.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah hadits yang sangat indah yang banyak dinisbatkan pada Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam:
الحكمة ضالة المؤمن فحيث وجدها فهو أحق بها
“Hikmah adalah harta Muslim yang hilang. Di mana pun ia menemukannya, ia lebih berhak atasnya.”.