Mengapa Necessary Being harus Tuhan, bukan Hukum Alam?
Salah satu bukti rasional terbaik yang menunjukkan keberadaan Tuhan adalah argumen kemungkinan atau contingency argument. Kita pernah membahas bagaimana argumen ini berangkat dari premis bahwa dunia dan seisinya bersifat mungkin secara rasional. Sesuatu yang mungkin butuh sesuatu yang lain untuk menjadikannya ada alih-alih kemungkinan yang lain. Jika penyebab ini juga sesuatu yang mungkin, maka ia pun butuh sebab lain. Rantai sebab-akibat ini mustahil tak berujung. Maka, ia harus berhenti pada sesuatu yang tak butuh sebab lain, yang disebut sebagai Wajib al-Wujud atay Necessary Being. Ini lah Tuhan.
Salah satu pertanyaan yang mengemuka terkait argumen ini adalah pertanyaan soal apa yang menjadi “ujung” dari rantai sebab-akibat ini. Betul bahwa rantai sebab-akibat harus ada ujung. Tapi, mengapa harus menjadikan Tuhan sebagai ujungnya? Mengapa rantai sebab-akibat tersebut tak berujung saja pada hukum alam? Sebagaimana istilah yang sering beredar: everything happens for a reason and that reason is usually physics. Mengapa tidak berhenti di fisika? Bukankah ini penjelasan yang lebih sederhana?
Tanggapan terbaik atas pertanyaan ini adalah dengan kembali kepada definisi “kemungkinan” itu sendiri. Sesuatu disebut mungkin ketika keberadaan ataupun ketiadannya tidak jatuh pada kontradiksi. Dari definisi ini, hukum alam pun adalah sesuatu yang mungkin. Tidak ada yang kontradiktif jika hukum alam yang kita dapatkan dari sains ternyata berbeda. Pun, kita tidak bisa sampai pada kesimpulan mengenai hukum alam di sekeliling kita hanya dari akal semata. Hukum alam yang kita ketahui saat ini didapatkan dari pengamatan dan eksperimentasi. Ini bukti tak terbantahkan bahwa bahwa hukum alam adalah sesuatu yang mungkin, tidak wajib. Jika hukum alam adalah sesuatu yang wajib secara rasional, akal kita bisa langsung menemukannya tanpa perlu repot-repot melakukan eksperimen. Pembahasan mendalam soal ini beserta ragam contohnya bisa ditemukan di buku “Logika Keimanan”.
Apa implikasinya? Jika hukum alam adalah sesuatu yang mungkin, maka, mustahil ia menjadi ujung dari rantai sebab-akibat di alam semesta. Ia tetap butuh kepada sesuatu untuk menjadikannya seperti saat ini. Lagipula, hukum alam tidak lain hanyalah deskripsi tentang bagaimana alam semesta biasa bekerja. Hukum alam bukanlah entitas hidup yang bisa menentukan sesuatu. Api, misalnya, tidak bisa dengan sendirinya menentukan apakah ia menghasilkan kebakaran ataupun tidak. Entitas yang bisa memilih dari beragam kemungkinan haruslah sesuatu yang hidup.
Penyebab yang menjadi ujung rantai sebab-akibat ini pun pasti bukan bagian dari alam semesta itu sendiri. Jika tidak, penyebab ini pun harus mengikuti hukum alam yang sama sebagaimana seluruh komponen penyusun alam semesta. Padahal, hukum alam itu sendiri adalah akibat yang ditentukan oleh Sang Penyebab Utama ini. Selain itu, komponen alam semesta adalah objek material yang bersifat mungkin karena memiliki properti-properti yang mungkin seperti ukuran, bentuk, dan sebagainya. Maka, pasti penyebab yang menjadi ujung rantai sebab-akibat ini bukanlah matahari, bintang, bulan, atau objek lain di alam semesta.
Kesimpulannya: yang menjadi ujung dari rantai sebab-akibat haruslah Tuhan Yang Wajib, Yang Maha Berbeda dengan segala ciptaan-Nya, Yang Maha Hidup dan Berkehendak, bukan hukum alam yang mati, bukan pula sesuatu yang menjadi bagian dari alam semesta itu sendiri.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: