Mengapa Muslim Modern Tetap Belajar Teologi Klasik
Apakah karya ratusan tahun silam masih relevan?
Saat ditanya rekomendasi belajar teologi Islam, saya hampir selalu merekomendasikan karya-karya teolog terdahulu. Misalnya: Qawaidul ‘Aqaid Al-Ghazali (wafat 1111 Masehi), Aqidah Sanusiyah/Ummul Barohin karya As-Sanusi (wafat 1490 Masehi), atau Jawharat at-Tawhid karya Al-Laqqani (wafat 1631 Masehi). Salah satu pertanyaan yang beberapa kali diajukan saat saya merekomendasikan buku-buku tersebut adalah: Apakah karya yang ditulis ratusan tahun silam masih relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di era modern? Tidakkah lebih baik belajar langsung ke karya-karya teolog kontemporer agar lebih relevan dengan tantangan zaman? Jangan-jangan ini menunjukkan kejumudan umat sampai-sampai kita harus terus mengacu ke karya-karya ratusan tahun silam?
Kita akan mencoba membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tulisan ini.
Poin-poin menarik yang kebetulan relevan dalam menjawab banyak pertanyaan di atas bisa kita temukan di dalam pengantar kitab Al-Intibahat al-mufidah fi halli al-isytibahat al-jadidah (Petunjuk Bermanfaat tentang Keragu-raguan Baru) karya Mawlana Ashraf ‘Ali Thahanawi, seorang teolog kontemporer asal India yang wafat Juli 1943. Dari poin-poin yang beliau sampaikan, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, fakta bahwa ada tantangan dan keraguan baru tidak menegasikan kemungkinan masih relevannya banyak prinsip-prinsip teologi lama. Maka, bukan langkah bijak untuk mengabaikan karya-karya teolog sepanjang sejarah peradaban Islam setiap kali ada masalah baru hanya karena masalah tersebut tidak muncul di era saat karya-karya tersebut ditulis.
Kedua, tidak semua keraguan baru yang muncul di era modern adalah pertanyaan yang betul-betul baru. Dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan baru tidak lain hanyalah masalah lama yang dibungkus dengan istilah-istilah baru. There is nothing new under the sun, kata pepatah tersohor. Pandangan yang menolak keberadaan Tuhan, misalnya, sudah ada sejak ratusan tahun silam di dunia Islam. Kalau sekarang kita menyebutnya sebagai ateisme, dulu para teolog menyebutnya sebagai Ad-Dahriyyah, yang berasal dari kata dahr atau waktu. Pandangan yang percaya bahwa hukum alam adalah sesuatu yang tetap dan tidak mungkin berubah karena melekat pada karakteristik natural dzat penyusun alam semesta juga sudah banyak disinggung dalam karya-karya teologi klasik.
Ketiga, banyak prinsip-prinsip umum teologi adalah sesuatu yang timeless, tidak lekang oleh zaman. Ini karena premis-premis teologis disusun berdasarkan penalaran rasional yang tidak banyak terpengaruh perkembangan sains dan teknologi. Hukum-hukum dasar logika yang kita yakini sekarang, misalnya, tidaklah berbeda dengan yang digunakan para teolog untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan teologis di zaman mereka.
Keempat, betul bahwa ada pertanyaan-pertanyaan yang betul-betul baru muncul di zaman ini. Masalah-masalah spesifik yang banyak mengganggu keimanan kita saat ini seperti teori evolusi atau problem of evil barangkali tidak spesifik dibahas oleh para teologi. Tetapi, dengan mempelajari karya-karya mereka, kita bisa belajar bagaimana cara berpikir para teolog dalam merespons tantangan dan pertanyaan yang muncul di zaman mereka. Bagaimanapun, teologi adalah ilmu yang dinamis sebagai respons atas munculnya pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pokok-pokok keimanan. Meski tantangannya tidak persis sama, memahami alur berpikir yang digunakan para teolog dalam menjawab persoalan di zaman mereka secara tidak langsung bisa membantu kita merespon persoalan-persoalan baru.
Sebagai catatan, saya tidak berkata bahwa belajar dari karya-karya teologi kontemporer adalah sesuatu yang keliru. Banyak karya-karya teologis baru yang ditulis dalam seratus tahun terakhir mampu menghadirkan berbagai jawaban atas persoalan-persoalan baru. Hanya saja, karena keterbatasan space, karya-karya kontemporer seringkali tidak membahas detail argumen-argumen dasar di balik keimanan kita sehingga tidak cukup memberi kita fondasi yang kuat. Saya juga tidak sedang mengatakan bahwa belajar karya-karya teologi klasik otomatis akan memberi kita jawaban atas keraguan kita di era ini. Tidak bisa dipungkiri, banyak karya-karya teologis yang akan sulit dipahami langsung oleh kita karena perbedaan konteks dan tantangan zaman.
Yang saya ingin tekankan: karya-karya para teolog sepanjang sejarah peradaban Islam sesungguhnya mengandung begitu banyak faidah yang sangat berharga. Kalaupun tak secara langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, karya-karya itu bisa memberi kita bekal yang cukup untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan. Maka, mengacu kepada karya-karya yang ditulis ratusan tahun lalu bukanlah bukti kejumudan. Sebaliknya, ini membuktikan betapa kokoh dan kuat argumen-argumen yang telah disusun oleh para pendahulu kita dalam meneguhkan keimanan sehingga bisa tetap relevan melintas zaman.