Terjemah Aqidah Sanusiyah (Ummul Barohin) karya Imam Sanusi
Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Segala puji hanyalah bagi Allah. Shalawat serta salam atas Rasulullah.
Ketahuilah bahwa hukum rasional terbagi menjadi 3 macam.
Yaitu yang pasti, yang mustahil, dan yang mungkin.
Sesuatu yang pasti adalah yang ketiadannya tidak valid diterima oleh akal. Sesuatu yang mustahil adalah yang keberadaannya tidak valid diterima oleh akal. Sesuatu yang mungkin adalah yang ketiadaan ataupun keberadannya valid diterima oleh akal.
Dan wajib bagi setiap mukallaf berdasarkan syari’at untuk mengenal apa-apa yang pasti berkaitan dengan Tuhan kita Yang Mulia dan Agung, dan apa-apa yang mustahil, dan apa-apa yang mungkin. Demikian juga, wajib bagi setiap mukallaf untuk mengenal poin-poin tersebut berkaitan dengan Utusan Tuhan, bagi mereka shalawat dan salam.
Dan sebagian yang pasti ada bagi Tuhan kita yang Maha Agung dan Mulia adalah dua puluh sifat.
Yaitu Wujud (ada), Qidam (tidak berawal), Baqa’ (tidak berakhir), Mukhalaftuhu lil hawadits (berbeda dengan makhluk), Qiyam bi Nafs (berdiri sendiri) yaitu tidak bergantung pada lokus (mahal) dan tidak juga pada sesuatu yang mengkhususkan (mukhassis), dan Wahdaniyyah (esa) yaitu tidak ada yang kedua bagi-Nya pada Dzat-Nya, pada Sifat-Nya, dan pada Perbuatan-Nya. Keenam sifat ini, yang pertama (yaitu Wujud) adalah sifat nafsiyah dan kelima sifat setelahnya adalah sifat salbiyah.
Kemudian pasti baginya untuk memiliki 7 sifat yang disebut sifat ma’ani, yaitu: Qudrah (Kekuasaan), Iradah (Kehendak), keduanya berkaitan dengan segala sesuatu yang mungkin, kemudian Ilmu yang berkaitan dengan segala sesuatu yang pasti, mustahil, dan mungkin, kemudian Hayah (Hidup) yang tidak berkaitan dengan apa pun, kemudian Sama’ (Pendengaran), Bashar (Penglihatan), keduanya berkaitan dengan segala yang ada, dan Kalam (Perkataan/Firman) yang bukan merupakan huruf atau suara yang berkaitan dengan segala yang terkait dengan sifat Ilmu.
Kemudian dilanjutkan sifat-sifat yang disebut sifat ma’nawiyah, yang merupakan konsekuensi dari ketujuh sifat ma’ani, yaitu keadaan-Nya yang Berkuasa, Berkehendak, Berpengetahuan, Hidup, Mendengar, Melihat, dan Berfirman.
Dan di antara yang mustahil bagi Tuhan adalah 20 sifat, yang merupakan kontradiksi dari 20 sifat sebelumnya. Sifat-sifat ini adalah: tidak wujud, bermula, menjadi tiada, dan menyerupai hal-hal yang bermula, yaitu: Ia berupa jirm (objek material) di mana Dzat-Nya yang Maha Tinggi menempati dimensi tertentu pada suatu ruang, atau Ia berupa ‘arad (properti) yang melekat pada objek, atau berada pada arah tertentu relatif terhadap objek, atau memiliki arah tertentu, atau menempati lokasi atau waktu tertentu, atau Dzat-Nya yang Maha Tinggi disifati dengan sifat-sifat bermula atau disifati dengan ukuran kecil atau besar, atau perbuatan dan ketentuan-Nya disifati dengan motif.
Dan mustahil bagi Tuhan untuk tidak berdiri sendiri/independen, yaitu mustahil Ia adalah sifat yang bergantung kepada lokus atau dzat lain untuk eksis, atau bergantung pada sesuatu yang mengkhususkan atau menjadikan Tuhan.
Dan mustahil bagi Tuhan untuk tidak esa. Artinya, Dzat-Nya tidak tersusun atas komponen-komponen yang berbilang, begitu juga tidak ada yang sebanding dengan Dzat-Nya ataupun dalam sifat-sifat-Nya. Tidak juga ada sesuatu yang lain selain Tuhan yang menghasilkan efek melalui perbuatannya.
Dan mustahil bagi Tuhan tidak berdaya untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin. Begitu juga mustahil bahwa penciptaan alam terjadi tanpa kehendak-Nya, atau terjadi dalam kelalaian atau lupa, atau terjadi sebagai akibat (tanpa kehendak) atau tabiat (natural tendency).
Mustahil bagi Tuhan disifati dengan kebodohan dan yang semakna dengannya atas seluruh hal yang bisa diketahui. Mustahil juga bagi Tuhan untuk mati, tuli, buta, dan bisu. Dan lawan dari sifat-sifat ma’nawiyah bisa dipahami dengan jelas dari sifat-sifat ini.
Yang mungkin bagi Tuhan adalah melakukan atau meninggalkan segala perbuatan yang mungkin.
Bukti keberadaan Tuhan adalah bermulanya alam semesta. Karena jika alam semesta tidak punya sesuatu yang menjadikannya ada, tetapi ia ada dengan sendirinya, konsekuensinya adalah berwujudnya salah satu di antara 2 opsi yang setara tanpa sebab dan ini mustahil.
Bukti bermulanya alam adalah ia tidak pernah terpisah dengan properti/sifat yang bermula seperti bergerak atau diam atau selain keduanya. Sesuatu yang tidak pernah lepas dari sesuatu yang bermula pasti juga bermula.
Dan bukti kebermulaan properti/sifat adalah observasi perubahan sifat-sifat ini dari tiada menjadi ada serta dari ada menjadi tiada.
Dan bukti wajibnya sifat Qidam (Tak Bermula) bagi-Nya adalah jika Ia tidak Qadim (Tak Bermula), maka Ia pasti bermula. Maka Ia akan membutuhkan kepada sesuatu yang lain untuk menjadikannya ada. Ini berkonsekuensi pada 2 opsi: daur (rantai sirkular) atau tasalsul (rantai tak berujung).
Dan bukti wajibnya Sifat Baqa’ (Kekal) bagi Tuhan: jika Ia mungkin menjadi tiada, maka tidak mungkian Ia bersifat Qidam (Tidak Bermula) karena itu artinya keberadaan-Nya bersifat mungkin, tidak wajib. Dan sesuatu yang mungkin pastilah bermula. Maka, bagaimana ini mungkin sedangkan telah dijelaskan bukti wajibnya sifat Qidam dan Baqa’ bagi-Nya?
Dan bukti wajibnya sifat Mukhalafatuhu lil Hawadits (Berbeda dengan Makhluk-Nya) adalah jika Ia menyerupai makhluk-Nya, maka Ia pasti bermula seperti makhluk-Nya dan ini mustahil sebagaimana telah kau ketahui sebelumnya tentang wajibnya Qidam dan Baqa’ bagi-Nya.
Dan bukti wajibnya sifat Qiyam bi Nafs (Independen) adalah jika Ia membutuhkan pada lokus (mahal), maka Ia adalah sifat/properti. Sifat/properti tidak mungkin disifati dengan sifat ma’ani dan ma’nawiyah sedangkan Tuhan kita yang Maha Agung wajib disifati dengan kedua sifat tersebut, maka Ia bukan sifat/properti. Dan jika Ia membutuhkan kepada sesuatu yang mengkhususkan (mukhassis), maka ia bermula. Sedangkan telah jelas bukti wajibnya sifat Qidam (Tak Bermula) dan Baqa’ (Tak Berakhir) bagi-Nya.
Dan bukti wajibnya sifat Wahdaniyah (Esa) bagi Tuhan adalah jika Ia tidak Esa akan berimplikasi pada tidak wujudnya satu pun komponen penyusun alam karena implikasi keberbilangan adalah ketidakmampuan Tuhan dalam menciptakan.
Dan bukti wajibnya sifat Qudrah (Kekuasaan), Iradah (Kehendak), Ilmu (Pengetahuan), dan Hayah (Hidup) bagi Tuhan adalah jika Ia tidak disifati dengan salah satu di antara sifat-sifat ini, tidak ada satu pun bagian dari alam yang bermula yang akan muncul.
Dan bukti wajibnya sifat Sama’ (Pendengaran), Bashar (Penglihatan), dan Kalam (Firman) adalah bukti di dalam Kitab dan Sunnah dan Ijma’ (Kesepakatan Ulama’). Di samping itu, jika Ia tak disifati dengan sifat-sifat ini, Ia harus disifati dengan kebalikannya. Kebalikan sifat-sifat ini adalah kekurangan dan kekurangan pada Dzat Tuhan adalah mustahil.
Dan bukti bahwa melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang mungkin itu boleh bagi Tuhan adalah jika sesuatu yang mungkin itu wajib bagi Tuhan secara rasional ataupun mustahil bagi Tuhan secara rasional, terjadi perubahan dari sesuatu yang mungkin menjadi wajib atau mustahil dan ini tidak rasional.
Sedangkan Utusan Tuhan, Shalawat dan Salam atas mereka semua, wajib atas mereka sifat Shidq (Jujur dalam Klaim Kenabian), Amanah (Bebas dari Dosa), dan Tabligh (Menyampaikan) apa yang diperintahkan kepada mereka untuk disampaikan ke manusia.
Dan mustahil bagi para utusan Tuhan, Shalawat dan Salam atas mereka semua, kebalikan dari sifat-sifat ini, yaitu sifat Kidzib (berdusta dalam klaim kenabian), Khianat dengan melakukan tindakan yang mereka dilarang untuk melakukannya, baik larangan yang bersifat haram ataupun makruh, dan Kitman atau menyembunyikan apa yang diperintahkan kepada mereka untuk disampaikan ke manusia.
Sifat yang boleh bagi utusan Tuhan, bagi mereka sholawat dan salam, adalah segala sifat-sifat manusiawi yang tidak berakibat pada berkurangnya kedudukan mulia mereka, seperti sakit, dan semacamnya.
Bukti wajibnya sifat Shidq (Benar tentang klaim kenabian) bagi para Utusan Tuhan adalah jika klaim mereka tidak benar, ini berimplikasi pada adanya kedustaan pada Tuhan Yang Maha Agung karena Ia mengkonfirmasi klaim mereka dengan mu’jizah yang diturunkan sebagai konfirmasi: “Hambaku benar di semua yang ia sampaikan dari-Ku.”
Sedangkan bukti wajibnya sifat Amanah bagi para Utusan Tuhan (bagi mereka shalawat dan salam): jika mereka berkhianat dengan melakukan perbuatan yang dilarang (haram) atau tidak disukai (makruh), ini berimplikasi berubahnya sesuatu yang haram atau makruh tersebut menjadi ketaatan bagi mereka. Ini karena Allah memerintahkan kita untuk meniru mereka dalam perkataan dan perbuatan mereka dan Allah Yang Maha Agung tidak memerintahkan perbuatan haram ataupun makruh.
Dan bukti ini esensinya adalah bukti bagi wajibnya sifat ketiga (Tabligh).
Dan bukti bolehnya sifat-sifat manusiawi bagi mereka adalah observasi adanya sifat-sifat ini pada diri mereka, baik untuk menambah pahala mereka (di sisi Tuhan), atau sebagai proses menjadikannya bagian dari syari’at, atau untuk menjauhkan mereka dari dunia, atau untuk memberikan penekanan tentang rendahnya nilai dunia di sisi Allah Yang Maha Agung dan bahwa Allah tidak ridho menjadikan dunia sebagai tempat pahala terakhir bagi para Nabi dan Wali-Wali-Nya, berdasarkan kondisi mereka di dalamnya.
Dan makna-makna dari seluruh poin keimanan terkumpul di dalam ucapan “Laa ilaaha illa Allah, Muhammadun Rasulullah: Tidak ada yang Layak Disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.”
Ini karena arti dari uluhiyyah adalah independensi Tuhan dari segala sesuatu selain-Nya dan kebergantungan mutlak segala sesuatu kepada-Nya. Maka, makna dari “Laa ilaha illa Allah” adalah tidak ada yang independen dari segala sesuatu yang lain dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya kecuali Allah.
Independensi dari segala sesuatu terwakili oleh wajibnya sifat: Ada, Tak Bermula, Tak Berakhir, Berbeda dengan Makhluk, Berdiri Sendiri, Suci dari Kekurangan.
Dan termasuk ke dalam kriteria di atas adalah wajibnya sifat: Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Berfirman.
Jika tidak wajib sifat-sifat di atas bagi Tuhan, maka Ia akan butuh kepada sesuatu untuk menciptakan-Nya dari ketiadaan, atau butuh kepada lokus, atau seseorang yang bisa mencegah cacat atas-Nya.
Dan termasuk ke dalam independensi adalah: suci-Nya Dzat Tuhan dari adanya motif dalam perbuatan-Nya dan ketentuan-Nya. Jika tidak, maka Ia butuh kepada segala sesuatu yang mendukung tercapainya motif tersebut. Bagaimana mungkin ini terjadi jika Ia Independen dari segala sesuatu selain-Nya?
Dan termasuk ke dalam independensi adalah: tidak wajib baginya mengerjakan sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Jika wajib atas-Nya sesuatu yang mungkin, seperti memberikan pahala, maka Ia Yang Maha Agung akan membutuhkan kepada sesuatu tersebut demi terpenuhinya tujuannya. Jika tidak wajib atas-Nya kecuali segala sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi-Nya, bagaimana ini mungkin sedangkan Ia Yang Maha Agung independen atas segala sesuatu?
Sedangkan kebergantungan segala sesuatu pada Tuhan terwakili atas wajibnya sifat: Hidup, Kekuasaan, Kehendak, dan Pengetahuan. Jika salah satu sifat ini tidak ada berimplikasi pada kemustahilan terwujudnya segala ciptaan yang bermula, maka tidak ada apa pun yang bergantung pada-Nya. Bagaimana mungkin ini terjadi sedangkan Ia adalah Dzat yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya?
Begitu juga dengan wajibnya sifat Esa. Karena jika ada Dzat Kedua yang memiliki sifat ketuhanan berimplikasi pada tidak adanya sesuatu yang bergantung pada-Nya karena berimplikasi pada ketidakmampuan keduanya. Bagaimana mungkin ini terjadi sedangkan Ia adalah Dzat yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya?
Dan termasuk di dalamnya adalah kebermulaan alam semesta dan seisinya. Jika sesuatu di alam semesta tidak bermula, maka sesuatu tersebut tidak butuh kepada Allah. Bagaimana mungkin jika Ia adalah Dzat yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya?
Dan termasuk juga di dalamnya adalah tidak ada penyebab yang menghasilkan efek pada ciptaan. Jika tidak, ini akan berimplikasi pada independen-nya efek tersebut dari Tuhan kita Yang Maha Agung. Bagaimana bisa sedangkan Ia adalah Dzat yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya secara keseluruhan dan di setiap kondisi? Ini jika engkau beranggapan bahwa sesuatu menghasilkan efek berdasarkan tendensi naturalnya. Jika engkau menganggap bahwa sesuatu menghasilkan efek berdasarkan kekuatan yang diletakkan Tuhan padanya sebagaimana diklaim oleh banyak dari mereka yang tidak paham, ini pun mustahil karena ini membuat Tuhan bergantung kepada perantara dalam penciptaan sebagian perbuatan. Ini adalah pendapat keliru karena telah engkau ketahui wajibnya independensi Tuhan Yang Maha Agung dari segala sesuatu selain-Nya.
Dan telah jelas untukmu kandungan kalimat “Laa ilaha illa Allah” terbagi menjadi tiga bagian yang wajib diketahui bagi mukallaf tentang Tuhan Yang Maha Agung dan Mulia, yaitu apa yang wajib bagi Tuhan Yang Maha Tinggi dan apa yang mustahil dan apa yang mungkin.
Sedangkan perkataan kami “Muhammadun Rasulullah”, shalawat dan salam atasnya, maka termasuk di dalamnya iman kepada seluruh Nabi, malaikat, kitab suci, dan hari akhir, karena beliau, shalawat dan salam atasnya, datang dengan membenarkan seluruh poin-poin ini.
Dan termasuk di dalamnya wajibnya sifat Shidq bagi Utusan Tuhan, bagi mereka shalawat dan salam, dan kemustahilan berdusta bagi mereka. Jika tidak, mereka bukanlah utusan yang Amanah kepada Tuhan kita yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, Yang Maha Agung dan Mulia. Begitu juga kemustahilan mengerjakan sesuatu yang dilarang karena mereka diutus untuk mengajarkan manusia melalui perkataan, perbuatan, dan diamnya mereka. Hal ini akan berimplikasi pada ketidakmungkinan adanya pertentangan dalam seluruh tindakan mereka dengan perintah Tuhan kita Yang Maha Agung dan Mulia, yang telah memilih mereka di antara seluruh makhluk-Nya dan mempercayakan kepada mereka tentang rahasia wahyu-Nya.
Dan termasuk di dalamnya mungkinnya sifat-sifat manusiawi atas mereka karena tidak menodai kerasulan mereka dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah Yang Maha Tinggi, bahkan justru menambah kedudukan mereka.
Dan telah jelas bagimu makna yang terkandung dalam dua kalimat syahadat, meskipun sedikit huruf-hurufnya, yang memuat semua yang wajib bagi mukallaf untuk diketahui, yaitu poin-poin keimanan pada Tuhan Yang Maha Tinggi dan pada Utusan-Utusan-Nya, atas mereka shalawat dan salam. Barangkali atas dasar singkatnya kedua kalimat ini beserta sempurnanya kandungannya yang telah kami sampaikan, syari’at menjadikannya perwujudan atas apa yang ada di dalam hati, yaitu Islam, dan tidaklah sah iman seseorang kecuali dengannya.
Dan mereka yang berakal sebaiknya memperbanyak menyebut dua kalimat syahadat sembari menghadirkan makna yang terkandung di dalamnya, yaitu pokok-pokok keimanan, hingga dirinya, dengan darah dan dagingnya, menyatu dengan makna-makna kalimat syahadat tersebut. Dengan ini semua, ia akan melihat rahasia-rahasia dan keajaiban-keajaiban, jika Allah Yang Maha Tinggi menghendaki, yang tak dapat dihitung jumlahnya.
Dan taufiq hanya melalui Allah semata. Tiada Pencipta dan Pengatur selain-Nya, dan tiada yang layak disembah selain-Nya. Kami meminta pertolongan-Nya Yang Maha Suci dan Tinggi untuk menjadikan kita dan orang-orang yang kita cintai ketika datang kematian nanti termasuk ke dalam orang-orang yang mengucapkan kalimat syahadat dan mengetahui secara sadar maknanya.
Dan Semoga Allah senantiasa bershalawat atas junjungan kita, Muhammad, setiap kali orang-orang berdzikir mengingat beliau dan setiap kali orang-orang yang lalai melalaikan mengingat beliau. Dan Semoga Allah senantiasa meridhoi seluruh sahabat Rasulullah dan mereka yang mengikutinya dengan baik hingga hari akhir. Dan keselamatan atas seluruh Utusan Tuhan. Dan segala puji hanya untuk Tuhan semesta alam.
Teks Versi Arab
سم الله الرحمن الرحيم .الَحْمُد للهِ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ.
اعْلَمْ أنَّ الْحُكْمَ العَقْليَّ يَنْحَصِـرُ فِي ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ
الوجوب، والاستحالة، والجواز.
فالواجب ما لا يُتصور في العقل عدمه.
والمستحيل ما لا يُتصور في العقل وجوده.
والجائز ما يصح في العقل وجوده وعدمه
ويجب على كل مكلف شرعا أن يعرف ما يجب في حق مولانا جل وعز وما يستحيل وما يجوز. وكذا يجب عليه أن يعرف مثلَ ذلك في حق الرسل عليهم الصلاة والسلام.
فمما يجب لمولانا عز وجل عشرون صفة.
وهي: الوجود، والقِدم، والبقاء، ومخالفته تعالى للحوادث، وقيامه تعالى بنفسه أي لا يفتقر إلى محلّ ولا مُخصص، والوحدانيه أي لا ثانيَ له في ذاته ولا في صفاته ولا في أفعاله. فهذه ست صفات الأولى نفسية وهي الوجود والخمسة بعده سلبية
ثم يجب له تعالى سبع صفات تسمى صفاتِ المعاني وهي: القدرة والإرادة المتعلقتان بجميع الممكنات، والعلم المتعلق بجميع الواجبات والجائزات والمستحيلات، والحياة وهي لا تتعلق بشىء، والسمع والبصر المتعلقان بجميع الموجودات، والكلام الذي ليس بحرف ولا صوت ويتعلق بما يتعلق به العلم من المتعلقات.
ثم سبع صفات تسمى صفات معنوية وهي ملازمة للسبع الأولى وهي كونه تعالى قادرا ومريدا وعالما وحيا وسميعا وبصيرا ومتكلما.
ومما يستحيل في حقه تعالى عشرون صفة وهي أضداد العشرين الأولى وهي: العدم، والحدوث، وطرؤ العدم، والمماثلة للحوادث بأن يكون جِرما أي تأخذ ذاته العليّة قدرا من الفراغ أو يكون عَرَضا يقوم بالجرم أو يكون في جهة للجرم أو له هو جهة أو يتقيد بمكان أو زمان أو تتصف ذاته العليّة بالحوادث أو يتصف بالصغر أو الكبر أو يتصف بالأغراض في الأفعال أو الأحكام.
وكذا يستحيل عليه تعالى أن لا يكون قائما بنفسه بأن يكون صفة يقوم بمحل أو يحتاج إلى مخصص
وكذا يستحيل عليه تعالى أن لا يكون واحدا بأن يكون مركبا في ذاته أو يكون له مماثل في ذاته أو في صفاته، أو يكون معه في الوجود مؤثر في فعل من الأفعال.
وكذا يستحيل عليه تعالى العجز عن ممكن ما وإيجاد شيء من العالم مع كراهته لوجوده أي عدم إرادته له تعالى، أو مع الذهول أو الغفلة أو بالتعليل أو بالطبع.
وكذا يستحيل عليه تعالى الجهل وما في معناه بمعلوم ما، والموت والصمم والعَمى والبَكم. وأضداد الصفات المعنوية واضحة من هذه
وأما الجائز في حقه تعالى ففعل كل ممكن أوتركه
أما برهان وجوده تعالى فحدوثُ العالم لأنه لو لم يكن له مُحدِث بل حدث بنفسه لزم أن يكون أحدُ الأمرين المتساويين مساويا لصاحبه راجحا عليه بلا سبب وهو محال
ودليل حدوث العالم ملازمته للأعراض الحادثة من حركة أو سكون أو غيرهما وملازم الحادث حادث
ودليل حدوث الأعراض مشاهدة تغيرها من عدم إلى وجود ومن وجود إلى عدم
وأما برهان وجوب القِدم له تعالى فلأنه لو لم يكن قديما لكان حادثا فيفتقر إلى مُحدِث فيلزم الدورُ أوالتسلسل
وأما برهان وجوب البقاء له تعالى فلأنه لو أمكن أن يلحقه العدم لانتفى عنه القِدم لكون وجوده حينئذ جائزا لا واجبا، والجائز لا يكون وجوده إلا حادثا كيف وقد سبق قريبا وجوب قدمه تعالى وبقائه.
وأما برهان وجوب مخالفته تعالى للحوادث فلأنه لو ماثل شيئا منها لكان حادثا مثلها وذلك محال لما عرفتَ قبلُ من وجوب قدمه تعالى وبقائه
وأما برهان وجوب قيامه تعالى بنفسه فلأنه تعالى لو احتاج إلى محل لكان صفة والصفة لا تتصف بصفات المعاني ولا المعنوية، ومولانا جل وعز يجب اتصافه بهما فليس بصفة، ولو احتاج إلى مُخصص لكان حادثا كيف وقد قام البرهان على وجوب قدمه تعالى وبقائه.
وأما برهان وجوب الوحدانية له تعالى فلأنه لو لم يكن واحدا لزم أن لا يوجد شىء من العالم للزوم عجزه حينئذ.
وأما برهان وجوب اتصافه تعالى بالقدرة والإرادة والعلم والحياة فلأنه لو انتفى شىء منها لما وُجد شىء من الحوادث.
وأما برهان وجوب السمع له تعالى والبصر والكلام فالكتاب والسنة والإجماع، وأيضا لو لم يتصف بها لزم أن يتصف بأضدادها وهي نقائصُ والنقص عليه تعالى محال.
وأما برهان كون فعل الممكنات أو تركها جائزا في حقه تعالى فلأنه لو وجب عليه تعالى شىء منها عقلا أو استحال عقلا لانقلب الممكن واجبا أو مستحيلا وذلك لا يُعقل.
وأما الرسل عليهم الصلاة والسلام فيجب في حقهم الصدق والأمانة وتبليغ ما أمروا بتبليغه للخلق
ويستحيل في حقهم عليهم الصلاة والسلام أضداد هذه الصفات وهي الكذب والخيانة بفعل شىء مما نهوا عنه نهيَ تحريم أو كراهة، وكتمانُ شىء مما أمروا بتبليغه للخلق
ويجوز في حقهم عليهم الصلاة والسلام ما هو من الأعراض البشرية التي لا تؤدي إلى نقص في مراتبهم العلية كالمرض ونحوه.
أما برهان وجوب صدقهم عليهم الصلاة والسلام فلأنهم لو لم يصدقوا للزم الكذب في خبره تعالى لتصديقه تعالى لهم بالمعجزة النازلة منزلة قوله تعالى: صدق عبدي في كل ما يبلّغ عني.
وأما برهان وجوب الأمانة لهم عليهم الصلاة والسلام فلأنهم لو خانوا بفعل محرم أو مكروه لانقلب المحرم أو المكروه طاعة في حقهم لأن الله تعالى أمرنا بالاقتداء بهم في أقوالهم وأفعالهم ولا يأمر الله تعالى بفعل محرم ولا مكروه،
وهذا بعينه هو برهان وجوب الثالث
وأما دليل جواز الأعراض البشرية عليهم فمشاهدة وقوعها بهم إما لتعظيم أجورهم، أو للتشريع، أو للتسلي عن الدنيا، أو للتنبيه لخسّة قدرها عند الله تعالى وعدمِ رضاه بها دارَ جزاء لأنبيائه وأوليائه باعتبار أحوالهم فيها
ويجمعُ معاني هذه العقائد كلها قول لا إله إلا الله محمد رسول الله
إذ معنى الألوهية استغناء الاله عن كل ما سواه وافتقارُ كل ما عداه إليه، فمعنى لا إله إلا الله لا مستغني عن كل ماسواه ومفتقر إليه كل ما عداه إلا الله تعالى
أما استغناؤه جل وعز عن كل ما سواه فهو يوجب له تعالى: الوجود والقِدم والبقاء والمخالفة للحوادث والقيام بالنفس والتنزه عن .النقائص
ويدخل في ذلك وجوب السمع له تعالى والبصر والكلام
إذ لو لم تجب هذه الصفات لكان محتاجا إلى المُحدِث أو المحل أو من يدفع عنه النقائص
ويؤخذ منه تنزهه تعالى عن الأغراض في أفعاله وأحكامه وإلا لزم افتقاره إلى ما يُحصّل غرضه كيف وهو عز وجل الغني عن كل ما سواه
ويؤخذ منه أيضا أنه لا يجب عليه فعل شىء من الممكنات ولا تركه إذ لو وجب عليه تعالى شىء منها كالثواب مثلا لكان جل وعز مفتقرا إلى ذلك الشىء ليتكمّل بها غرضه إذ لا يجب في حقه تعالى إلا ماهو كمال له، كيف وهو عز وجل الغني عن كل ما سواه
وأما افتقار كل ما عداه إليه جل وعز فهو يوجب له تعالى الحياة وعموم القدرة والإرادة والعلم إذ لو انتفى شىء منها لما أمكن أن يوجد شىء من الحوادث فلا يفتقر إليه شىء كيف وهو الذي يفتقر إليه كل ما سواه.
. ويوجب له تعالى أيضا الوحدانية إذ لو كان معه ثان في الألوهية لما افتقر إليه شىء للزوم عجزهما حينئذ كيف وهو الذي يفتقر إليه كل ما سواه
ويؤخذ منه أيضا حدوث العالم بأسره إذ لو كان شىء منه قديما لكان ذلك الشىء مستغنيا عن الله تعالى كيف وهو الذي يجب أن يفتقر إليه كل ما سواه
ويؤخذ منه أيضا أنّه لا تأثير لشىء من الكائنات في أثر ما وإلا لزم أن يستغني ذلك الأثرعن مولانا عز وجل كيف وهو الذي يفتقر إليه كل ما سواه عموما وعلى كل حال، هذا إن قدّرت أنّ شيئا من الكائنات يؤثر بطبعه. وأما إن قدّرته مؤثرا بقوة جعلها الله فيه كما يزعم كثير من الجهلة فذلك محال أيضا لأنه يصير حينئذ مولانا عز وجل مفتقرا في إيجاد بعض الأفعال إلى واسطة وذلك باطل لما عرفت من وجوب استغنائه عز وجل عن كل ما سواه
فقد بان لك تضمنُ قول لا إله إلا الله للأقسام الثلاثة التي يجب على المكلف معرفتها في حق مولانا جل وعز وهي ما يجب في حقه تعالى وما يستحيل وما يجوز
وأما قولنا محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم فيدخل فيه الإيمان بسائر الأنبياء والملائكة والكتب السماوية واليوم الآخر لأنه عليه الصلاة والسلام جاء بتصديق جميعِ ذلك كله،
ويؤخذ منه وجوب صدق الرسل عليهم الصلاة والسلام واستحالة الكذب عليهم وإلا لم يكونوا رسلا أمناءَ لمولانا العالم بالخفيات جل وعز، واستحالة فعل المنهيات كلها لأنهم أُرسلوا ليعلموا الناس بأقوالهم وأفعالهم وسكوتهم فيلزم أن لا يكون في جميعها مخالفة لأمر مولانا عز وجل الذي اختارهم على جميع خلقه وأمنهم على سر وحيه
ويؤخذ منه جواز الأعراض البشرية عليهم إذ ذاك لا يقدح في رسالتهم وعلو منزلتهم عند الله تعالى بل ذاك مما يزيد فيها
فقد بان لك تضمنُ كلمتي الشهادة مع قلة حروفها لجميع ما يجب على المكلف معرفته من عقائدِ الإيمان في حقه تعالى وفي حق رسله عليهم الصلاة والسلام، ولعلها لاختصارها مع اشتمالها على ما ذكرناه جعلها الشرع ترجمة على ما في القلب من الإسلام ولم يقبل من أحد الإيمان إلا بها
فعلى العاقل أن يُكثر من ذكرها مستحضرا لما احتوت عليه من عقائد الايمان حتى تمتزج مع معناها بلحمه ودمه فإنه يرى لها من الأسرار والعجائب إن شاء الله تعالى ما لا يدخل تحت حصر
وبالله التوفيق لا ربّ غيره ولا معبود [بحق] سواه نسأله سبحانه وتعالى أن يجعلنا وأحبتنا عند الموت ناطقين بكلمة الشهادة عالمين بها،
وصلى الله على سيدنا محمد كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره الغافلون، ورضي الله تعالى عن أصحاب رسول الله أجمعين والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين وسلام على المرسلين والحمد لله ربّ العالمين