Argumentasi Ketuhanan Nabi Ibrahim
Bagaimana perubahan benda-benda alam menunjukkan keberadaan Tuhan
Dalam teologi Islam, pokok-pokok keimanan seperti keberadaan Tuhan atau validitas kenabian bisa dibuktikan secara rasional tanpa bergantung pada wahyu. Bahkan, bergantung pada wahyu semata pada dua hal di atas esensinya adalah circular reasoning yang tidak valid. Tetapi, ini bukan berarti mengambil faidah dari wahyu terkait bukti ketuhanan dan kenabian selalu tidak valid. Wahyu dalam Islam layaknya cahaya yang bisa membantu akal untuk sampai pada kesimpulan yang tepat, bukan melalui doktrin, tapi dengan mengajari kita bagaimana berpikir dengan rasional.
Salah satu surat dalam Al-Qur'an yang memuat banyak argumentasi rasional adalah Surat Al-An'am. Dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghayb, Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan keutamaan surat ini, yaitu turun serentak diiringi tujuh puluh ribu malaikat sebagaimana disebut dalam hadits Nabi shallahu alayhi wa sallam. Menurut beliau, ini dikarenakan kemuliaan kandungannya yang memuat bukti-bukti keesaan Tuhan dan validitas kenabian, serta bantahan rasional untuk kalangan yang menyimpang.
Salah satu bukti rasional yang terkandung dalam surat ini disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alayhissalam dalam suatu kisah yang tersohor ketika beliau mengamati benda-benda langit yaitu bintang, bulan, dan matahari. Para mufassirin menjelaskan bahwa peristiwa ini bukan mengisahkan perjalanan Nabi Ibrahim “mencari” Tuhan karena para Nabi dan Rasul semuanya ma’shum, terpelihara dari dosa. Sebaliknya, peristiwa ini adalah proses da'wah beliau untuk meyakinkan kaumnya tentang keberadaan Tuhan yang hakiki. Dikisahkan bagaimana beliau menyimpulkan bahwa benda-benda ini bukanlah Tuhan karena semuanya “muncul” dan “terbenam”. Pertanyaannya, mengapa benda alam yang “muncul” dan “terbenam” pasti bukan Tuhan?
Imam Sanusi dalam karyanya Syarh Aqidah Wustha punya penjelasan menarik tentang ayat di atas. Bagi beliau, ayat di atas menunjukkan bahwa alam semesta yang mengalami perubahan artinya berimplikasi pada kebermulaan. Objek langit seperti bintang, bulan, matahari pastilah “muncul” atau “terbenam” karena tidak ada opsi lain selain keduanya. Jika mereka kekal, mereka pun harus disifati dengan “muncul” atau “terbenam”. Tapi, sifat “muncul” dan “terbenam” yang kekal tidak bisa sirna atau berganti karena sesuatu yang kekal haruslah bersifat wajib. Imam Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid berkata:
وكل ما جاز عليه العدم عليه قطعا يستحيل القدم
Setiap yang mungkin tiada, mustahil ia kekal.
Tapi, kita melihat bagaimana sifat-sifat ini bisa sirna dan berganti, dari “muncul” menjadi “terbenam”, dan sebailknya. Fakta bahwa sifat-sifat ini bisa sirna dan berganti menunjukkan bahwa sifat-sifat ini tidak kekal, melainkan memiliki permulaan. Artinya, objek-objek yang disifati pun harus memiliki permulaan karena objek tak bisa independen dari sifat-sifat tersebut. Kesimpulannya: objek-objek langit bukanlah Tuhan karena memiliki permulaan, dan justru butuh kepada Tuhan yang Tak Bermula. Argumen ini lah yang kemudian dibakukan menjadi argumen formal oleh para teolog Muslim yang kemudian dikenal sebagai dalil al-huduts.
Ayat di atas juga bisa dilihat dari perspektif lain. Fakta bahwa benda-benda langit disifati dengan “muncul” dan “terbenam” menunjukkan bahwa mereka bersifat mungkin, karena sesuatu yang wajib tidak bisa berubah. Maka, objek-objek langit adalah sesuatu yang mungkin, dan justru butuh kepada Tuhan yang Wajib. Argumen ini yang kemudian diformalkan para teolog menjadi dalil al-imkan.
Dari contoh di atas kita bisa menyimpulkan bahwa bukti rasional yang diusung para teolog sejatinya adalah bukti Qurani. Meskipun ia rasional murni, ia tidaklah lepas dari petunjuk Al-Qur'an. Ada begitu banyak ayat dalam Al-Qur'an yang memuat bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan. Ini menguatkan pandangan bahwa mengikuti Al-Qur’an bukan circular reasoning, tapi sama saja mengikuti akal sehat kita. Berargumentasi rasional sejatinya juga adalah metode para Nabi yang dikontekstualisasikan sesuai zaman oleh para teolog hingga mengkristal menjadi displin ilmu kalam. Tak heran jika argumen di atas disebut sebagai “bukti Kami” dalam ayat penutup kisah Nabi Ibrahim di atas:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Itulah bukti Kami yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan orang yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: