Salah satu pandangan yang berkembang belakangan ini adalah anggapan bahwa agama tak lain hanya sebatas produk proses evolusi semata, baik evolusi biologis ataupun evolusi kultural. Agama dianggap muncul secara natural ketika kemampuan kognitif manusia telah berkembang melalui evolusi dan mulai muncul kebutuhan untuk mengatur masyarakat yang terus bertambah agar bisa berjalan dengan optimal. Kepercayaan bahwa ada Entitas yang lebih berkuasa daripada manusia dan akan adanya surga-neraka dipercaya berperan untuk mengatur agar masyarakat tetap teratur. Maka, menurut pandangan ini, agama bukanlah sesuatu yang ilahiah, yang berasal dari Entitas Yang Maha Kuasa, tapi hanyalah sebatas “realita yang diimajinasikan” yang memenuhi peran sosial-budaya dalam mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks. Karena itu, agama dianggap relevan hanya sebatas dalam memenuhi peran tersebut, bukan berurusan dengan klaim benar-salah tentang realitas.
Seperti apa tanggapan yang tepat terhadap pandangan semacam ini? Ada beberapa tanggapan yang bisa diberikan sebagai respons.
Pertama, fakta bahwa agama terbentuk melalui proses natural, apakah memalui evolusi biologis, evolusi kultural, ataupun yang lain, tidak menegasikan kemungkinan adanya “peran ilahiah” di sana. Kepercayaan bahwa agama bersumber dari Tuhan tidak bertentangan dengan kepercayaan bahwa komponen-komponen esensial yang memungkinkan munculnya agama (seperti rasionalitas dan jumlah manusia yang semakin banyak) turut muncul dipicu oleh fenomena natural. Memaksa kita memilih salah satu saja adalah dikotomi palsu. Bahkan, fakta bahwa segala sesuatu yang mungkin butuh kepada Entitas Yang Wajib mengindikasikan bahwa seluruh peristiwa natural yang terjadi di alam sepenuhnya berada di bawah kendali dan kehendak Tuhan. Artinya, agama yang muncul sebagai produk fenomena natural sejatinya juga muncul atas kehendak Tuhan karena evolusi ataupun hukum alam lain hanyalah “ekspresi” Perbuatan Tuhan dalam mewujudkan kehendak-Nya. Selain itu, pandangan bahwa agama adalah sesuatu yang natural muncul dalam benak manusia sejatinya juga selaras dengan konsep fithrah dalam Islam.
Kedua, fakta bahwa agama berperan membantu terjaganya kohesi sosial justru selaras dengan salah satu peran agama menurut ajaran Islam sendiri. Para ulama’ memaparkan bahwa salah satu hikmah adanya syari'at Islam adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dalam bermasyarakat, seperti menjaga kehidupan, menjaga kehormatan, dan aspek-aspek lain yang dikenal sebagai maqashid asy-syari'ah. Tapi, poin ini tidak menafikkan kemungkinan adanya peran lain agama di luar soal fungsi sosialnya, termasuk mengabarkan klaim-klaim lain yang hanya bisa dikomfirmasi melalui wahyu seperti adanya surga-neraka dan hidup setelah kematian.
Ketiga, jika fakta agama sebagai produk evolusi dianggap membuatnya tidak valid untuk mendapatkan kebenaran, maka rasionalitas manusia pun juga begitu. Apakah lantas rasionalitas manusia tidak valid mendapatkan kebenaran karena juga produk dari evolusi? Tapi, jika rasionalitas manusia belum tentu valid, maka teori evolusi yang dihasilkan dari proses rasionalitas pun juga menjadi dipertanyakan kredibilitasnya. Ini kontradiksi: menerima evolusi justru meruntuhkan kredibilitas evolusi itu sendiri. Bukan hanya itu, produk-produk pengetahuan yang lain, termasuk teori-teori sains modern pun juga mengalami hal yang sama.
Keberatan ini lah yang diajukan oleh filsuf Alvin Plantinga: bahwa proses evolusi yang murni naturalistik tidak bisa menggaransi bahwa rasionalitas kita valid untuk mendapatkan kebenaran. Kemampuan yang “dipilih” oleh proses evolusi adalah kemampuan yang mendukung survival dan reproduksi, bukan kemampuan yang fokus mendukung pencarian kebenaran. Menghindari makanan yang beracun karena percaya bahwa makanan tersebut mengandung kutukan, misalnya, adalah tindakan yang mendukung survival meskipun tidak mengandung kebenaran. Bagi Alvin Plantinga, rasionalitas manusia yang bisa menghasilkan pengetahuan valid hanya masuk akal jika proses evolusinya diorkestrasi oleh Dzat Yang Maha Berpengetahuan dan Berkehendak, yang bisa memilih manusia untuk mendapatkan rasionalitas sehingga bisa sampai pada kesimpulan yang benar tentang dunia dan seisinya, termasuk tentang agama.
Kesimpulannya: bisa saja agama ataupun komponen-komponen esensialnya muncul melalui suatu proses natural seperti evolusi dan memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks. Tetapi, kebenaran pandangan ini tidak berimplikasi pada pandangan bahwa agama bukan berasal dari Tuhan dan agama tidak valid untuk mendapatkan kebenaran. Justru, rasionalitas yang juga produk evolusi bisa membawa kita pada kebenaran, termasuk validnya klaim bahwa agama berasal dari Tuhan.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:
maaf mas, saya masing belum menangkap kalo Naturalisme bertentangan sama evolusi. karena naturalisme yang bentuknya metodologi secara logis gak bertentangan dengan evolusi. mungkin ada perbedaan ya di antara bentuk evolusi dalam agama itu evolusi yang seperti apa?
permisi pak, saya masih belum bisa menemukan jawaban dari pertanyaan "Mengapa Evolusi justru bertentangan dengan Naturalisme?" di tulisan ini