Kuda Terbang dan Rasionalitas - Bagian 1
Mengapa kepercayaan pada mu'jizat tidak berpengaruh pada kredibilitas seorang ilmuwan
Dalam salah satu diskusi antara seorang ilmuwan naturalis (yang mempercayai bahwa alam semesta adalah segala sesuatu yang ada) dan seorang jurnalis Muslim di Inggris beberapa tahun silam, salah satu poin diskusi yang sempat disinggung adalah kepercayaan Muslim bahwa Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wa sallam melakukan perjalanan Isra’ dari Mekkah ke Palestina yang diikuti Mi’raj ke Sidratul Muntaha menggunakan Buraq. Sang saintis mengkritisi kepercayaan tersebut. Baginya, mempercayai bahwa “seseorang bisa terbang ke langit menungganggi kuda terbang” adalah sesuatu yang tidak layak dipercaya oleh orang rasional di era modern ini. Sang saintis bahkan juga sempat menulis di media sosialnya bahwa kepercayaan semacam ini semestinya meruntuhkan kredibilitas sang jurnalis sehingga ia tak layak dipercayai sebagai jurnalis.
Terlepas dari detail teknis tentang apa itu Buraq (yang tidak sepenuhnya tepat disebut sebagai kuda terbang), serial singkat ini hendak bertanya: betulkah percaya pada fenomena Isra’ Mi’raj adalah posisi irasional dan betulkah kepercayaan ini meruntuhkan kredibilitas seseorang sebagai seorang ilmuwan ataupun jurnalis misalnya?
Kita akan membahas pertanyaan kedua terlebih dahulu. Klaim yang dibangun di sini kurang lebih sebagai berikut:
Muslim percaya kepada sesuatu yang dianggap “irasional” seperti Isra’ Mi’raj.
Seseorang yang percaya pada sesuatu yang irasional tidak bisa dipercaya untuk mengerjakan sesuatu yang melibatkan rasionalitas, seperti sains.
Kesimpulan: Muslim tidak bisa dipercaya untuk mengerjakan sesuatu yang melibatkan rasionalitas, seperti sains.
Tentu saja seseorang yang menerima dua premis awal harus menerima kesimpulan di atas. Tetapi, sebagaimana akan kita lihat, kedua premis penyusunnya tidak bisa diterima sehingga kesimpulannya pun tidak menjadi wajib diterima secara rasional. Kritik atas premis pertama akan kita bahas di bagian kedua tulisan ini. Kita akan fokus pada premis kedua.
Kekeliruan di balik premis kedua bisa kita temukan dengan menjawab pertanyaan kunci berikut: Bagaimana saintis bekerja? Saintis bekerja mengikuti metodologi tertentu dengan asumsi bahwa hukum alam yang teratur selalu bisa menjelaskan fenomena-fenomena alam yang ada. Kerangka berfikir ini sering disebut sebagai methodological naturalism. Artinya, ketika hendak menjelaskan suatu fenomena alam dari perspektif sains, seorang saintis harus mengemukakan hipotesis bahwa selalu ada penjelasan natural yang bisa menjelaskan fenomena alam tersebut dan bisa direplikasi. Penjelasan apa pun di luar penjelasan natural tidaklah saintifik karena melanggar prinsip methodological naturalism ini.
Tapi, menjalankan tugas sebagai seorang saintis yang mengikuti methodological naturalism tidak sama dengan mempercayai bahwa hanya ada penjelasan natural dari semua fenomena. Seorang saintis sangat mungkin percaya bahwa percepatan secara natural disebabkan oleh gaya sekaligus percaya bahwa esensinya percepatan maupun gaya sama-sama disebabkan oleh Kehendak Tuhan. Kepercayaannya pada premis “segala sesuatu disebabkan oleh Kehendak Tuhan” tidaklah bertentangan dengan premis “gaya secara natural menyebabkan percepatan” karena dalam hal ini ia percaya bahwa Tuhan ber-Kehendak agar ada keteraturan dalam ciptaan-Nya. Maka, di sini kita bisa melihat bahwa kepercayaan saintis tersebut tentang Tuhan tidak berdampak apa pun pada kesimpulan saintifiknya bahwa “gaya secara natural menyebabkan percapatan”.
Tapi, tidakkah kepercayaan saintis tersebut terhadap fenomena mu’jizat yang di luar kebiasaan natural seperti Isra’ Mi’raj melanggar asumsinya bahwa selalu ada penjelasan natural dari setiap fenomena? Jawabannya: Ya, jika saintis tersebut mengklaim bahwa fenomena Isra’ Mi'raj ataupun mu’jizat lain adalah sesuatu yang saintifik. Sebagaimana saya jabarkan di atas, methodological naturalism mensyaratkan sesuatu sebagai saintifik ketika suatu fenomena dijelaskan oleh penyebab natural yang bisa direplikasi. Maka, tentu saja mengatakan bahwa ada fenomena mu’jizat yang di luar kebiasaan, tidak bisa direplikasi, dan tidak disebabkan penyebab natural tidak valid disebut sebagai klaim saintifik. Tapi, fakta bahwa klaim ini tidak saintifik tidak lantas membuatnya pasti salah. Methodological naturalism, in itself, tidak memberikan butki dari asumsinya bahwa harus selalu ada penyebab nautral dari fenomena alam. Maka, dari perspektif ini, tidak ada masalah bagi sang ilmuwan untuk percaya adanya mu’jizat sebagai fenomena di luar kebiasaan sepanjang tidak mengklaim bahwa kesimpulan tesebut adalah kesimpulan saintifik. Yang terpenting: selama bekerja sebagai saintis dalam kerangka methodological naturalism, ia tidak keluar dari rambu-rambu metodological naturalism sehingga kesimpulannya valid disebut sebagai kesimpulan saintifik.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa percaya adanya sesuatu di luar kebiasaan yang tidak bisa direplikasi tidak mengugurkan kredibilitas seseorang sebagai seorang ilmuwan sepanjang ia tetap dalam rambu-rambu keprofesiannya sebagai seorang ilmuwan dalam memproduksi pengetahuan saintifik. Poin ini tidak hanya berlaku untuk profesi sainstis saja ataupun untuk kepercayaan terkait mu’jizat saja, tatapi juga mencakup profesi-profesi dan kepercayaan-kepercayaan lain. Ini mengapa kita bisa menemukan banyak saintis-saintis kredibel dengan beragam kepercayaan, seperti Abdus Salam yang seorang teis bisa mendapatkan nobel Fisika bersama dengan Steven Weinberg yang ateis. Tentu saja, tulisan ini juga tidak sedang berkata bahwa semua kepercayaan sama-sama valid. Poinnya: posisi metafisis seseorang tidak lantas mengugurkan kredibilitasnya di bidang lain.