Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan #6: Bumi Datar Menurut Qur'an?
Ini adalah tulisan ke-6 dan terakhir dari serial “Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan”. Di tulisan sebelumnya, kita telah melihat kaidah-kaidah kunci yang digunakan para teolog Muslim untuk mendapatkan jalan keluar dari “pertentangan” yang sekilas seperti terjadi antara produk akal seperti sains dan teks wahyu. Di tulisan ini, kita akan melihat contoh aplikasi kaidah-kaidah tersebut di era modern ini, yaitu pada persoalan yang seringkali disinggung: apakah bentuk Bumi itu datar menurut Al-Qur’an? Jika iya, tidakkah ini bertentangan dengan bukti-bukti saintifik yang mengindikasikan bumi berbentuk bulat?
Pertama, kita perlu menengok dahulu beberapa ayat di Al-Qur'an yang seperti mengindikasikan bumi datar. Beberapa contoh yang sering disebutkan adalah:
وَإِلَى ٱلْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
“Dan kepada Bumi bagaimana ia dihamparkan?”
وَٱلْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَىٰهَآ
“Dan Bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.”
أَلَمْ نَجْعَلِ ٱلْأَرْضَ مِهَٰدًا
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai kasur?”
Beberapa ayat lain mengindikasikan bagaimana Bumi “dipanjangkan” (madda), dijadikan layaknya “karpet” (bisath) atau “hamparan” (firasy).
Sebagaimana pernah kita singgung, meskipun wahyu adalah sumber pengetahuan yang valid, ada ragam level keyakinan yang harus kita perhatikan. Pertanyaannya: apakah ayat-ayat ini pasti (qath'iy) atau tidak pasti (dzanniy)? Secara transmisi (tsubut), ayat-ayat di atas bernilai pasti (qath'iy) karena teks Al-Qur'an ditransmisikan secara massal (mutawatir). Ada begitu banyak sumber independen yang mentransmisikan bacaan Al-Qur'an dari generasi ke generasi mulai dari era Rasulullah sedemikian rupa sehingga mustahil mereka bersepakat dalam kebohongan. Artinya, secara transmisi, kita bisa yakin 100% bahwa ayat-ayat di atas betul-betul bagian dari teks Al-Qur'an sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah.
Bagaimana level keyakinannya secara indikasi makna (dalalah)? Kita bisa melihat bagaimana diksi-diksi yang digunakan di atas berpotensi memiliki beragam makna. Kata seperti “hamparan”, “dipanjangkan”, “kasur”, “karpet” boleh jadi maknanya literal, yaitu mengacu kepada sesuatu yang datar, ataupun figuratif, yaitu mengacu kepada sesuatu yang luas dan lebar layaknya ilustrasi-ilustrasi yang digunakan meskipun tidak harus datar. Karena itu, tak heran kalau ulama’ lintas generasi punya beragam pandangan soal ini. Sebagian tafsir seperti Tafsir Jalalayn, misalnya, menafsirkan ayat dalam Surat Al-Ghasyiyah di atas secara literal yang mendukung pandangan bahwa bumi berbentuk datar. Tapi banyak ulama’ lain yang punya pandangan berbeda dan justru menafsirkan sebagian ayat-ayat lain sebagai bukti bumi bulat. Ibnu Hazm, misalnya, menyinggung ayat berikut:
يُكَوِّرُ ٱلَّيْلَ عَلَى ٱلنَّهَارِ وَيُكَوِّرُ ٱلنَّهَارَ عَلَى ٱلَّيْلِ
“Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.”
Kata “yukawwiru” bermakna menggulung sesuatu seperti surban, mengindikasikan bahwa siang dan malam “digulung” pada permukaan bumi yang bulat layaknya surban digulung di permukaan kepala yang bulat. Contoh lain, dalam pembukaan Tahafut al-Falasifah, Abu Hamid Al-Ghazali memaparkan bagaimana filsuf di era beliau meyakini Bumi bulat dan bayangan Bumi menutupi Bulan sebagai penyebab gerhana, sesuatu yang bagi beliau tak terbantahkan. Kesimpulannya: secara indikasi makna, ayat-ayat di atas tidaklah pasti alias dzanniy.
Bagaimana dengan bukti saintifik bulatnya bumi? Bukti-buktinya tentu saja sangat banyak. Fenomena gerhana yang sempat saya singgung misalnya, menunjukkan bagaimana bayang-bayang Bumi yang bulat menutupi Bulan. Adanya perbedaan waktu antar tempat-tempat di permukaan bumi, adanya pelayaran memutari Bumi, adanya teknologi satelit yang mengelilingi Bumi sehingga kita bisa menggunakan Global Positioning System (GPS) dan komunikasi; semuanya hanya konsisten jika Bumi itu bulat. Di era modern, bahkan kita sudah bisa mendapatkan citra Bumi dari luar angkasa.
Penalaran semacam ini dikenal sebagai inference to the best of explanation. Adanya begitu banyak dan beragam fenomena di atas membuat “Bumi bulat” sebagai penjelasan terbaik. Semakin banyak dan beragam buktinya, semakin kuat juga level keyakinan kita akan kebenaran kesimpulannya. Teolog dan logikawan Muslim menyebut penalaran semacam ini sebagai hadsiyyat (Intuitive knowledge) yang bisa mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan (qath'iy).
Dari fakta-fakta di atas, kita telah melihat bahwa di sini terjadi pertentangan antara pengetahuan dari wahyu yang bersifat tidak pasti (dzanniy) dengan pengetahuan rasional yang bersifat pasti (qath'iy). Dari kaidah di tulisan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa langkah yang tepat pada kondisi ini adalah menerima bukti rasional yang pasti sedangkan teks wahyu ditafsirkan secara figuratif sesuai makna yang sesuai. Maka, pengetahuan bahwa Bumi itu bulat yang didapat secara pasti harus diterima. Ayat-ayat yang mengindikasikan Bumi sebagai “hamparan”, “karpet”, “kasur” dan sejenisnya tidak berimplikasi bahwa Bumi itu datar secara literal, tapi hanya terlihat demikian karena luasnya ukuran Bumi relatif terhadap perspektif kita sedemikian rupa sehingga ia terlihat datar.
Penutup
Di akhir serial tulisan ini, ada beberapa poin yang ingin saya tekankan. Pertama, contoh “pertentangan” seperti di atas muncul karena kita keliru membaca Al-Qur'an semata-mata dari kaca-mata saintifik. Padahal, topik bahasan utama Al-Qur'an bukanlah sains, melainkan tentang konsep ketuhanan, kenabian, dan hari akhir. Alih-alih fokus memahami pesan yang ingin disampaikan pada ayat-ayat di atas, yaitu tentang Kekuasaan Tuhan yang mampu menciptakan Bumi yang sedemikian luas, tentang Rahmat Tuhan yang menjadikan Bumi tempat yang nyaman layaknya kasur, kita justru terdistraksi oleh pertanyaan soal bentuk Bumi yang sama sekali bukan esensi pesan dari ayat-ayat di atas. Konsekuensinya, pandangan yang menganggap Al-Qur'an mu'jizat karena memuat prediksi sains modern juga bagi saya sama problematiknya, seperti saya jelaskan di Buku “Logika Keimanan”.
Kedua, di sini kita juga belajar betapa pentingnya memahami level keyakinan pengetahuan termasuk yang bersumber dari wahyu. Suatu pandangan yang berusaha menafsirkan makna suatu ayat yang indikasi maknanya tidak pasti pada akhirnya tetap menghasilkan pengetahuan yang juga tak pasti, bahkan ketika ia muncul di kitab tafsir sekalipun. Kitab tafsir bukanlah kitab aqidah yang hanya memuat pokok-pokok keimanan berdasarkan bukti yang meyakinkan. Seorang mufasir berusaha menarik makna dari teks wahyu berdasarkan beragam bukti yang juga punya level keyakinan beragam. Itu mengapa, bahkan dalam Tafsir Jalalayn yang mengunggulkan pandangan bahwa makna ayat dalam Surat Al-Ghasyiyah di atas mengindikasikan Bumi yang datar, Imam Jalaluddin Al-Mahalli juga menambahkan:
وَإِنْ لَمْ يَنْقُض رُكْنًا مِنْ أركان الشرع
“Masalah ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan salah satu rukun syariat.”
Artinya, persoalan bentuk Bumi bukanlah Rukun Iman yang digali dari bukti-bukti pasti pada teks wahyu sehingga akan menentukan keselamatan kita di akhirat nanti. Tapi, kegagalan menyimpulkan Kekuasaan dan Keesaan Tuhan dari luasnya hamparan Bumi lah yang ditekankan oleh wahyu dan akan mempengaruhi kehidupan akhirat kita kelak.
Akhirnya, semoga serial tulisan ini memberi manfaat untuk penulis dan segenap pembaca sekalian.
Wa billahi at-tawfiq, la rabba ghayruh, wa la ma’buda siwah. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: