Sejauh Mana Kita Boleh Bertanya?
Betulkah hal-hal sesensitif keimanan tidak boleh dipertanyakan?
Di satu momen dalam hidup, sebagian besar kita mungkin pernah memiliki pertanyaan tentang agama dan keimanan. Mengapa ada banyak agama? Bagaimana kita tahu agama yang kita yakini adalah agama yang benar? Mengapa Tuhan Yang Maha Penyayang membiarkan adanya penderitaan? Mengapa Tuhan menyuruh ciptaan-Nya untuk menyembah-Nya?
Tidak sedikit dari kita yang mungkin sempat nekat menanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini ke orang-orang di sekitar kita. Sayangnya, seringkali tidak banyak yang bisa memberikan jawaban memuaskan. Sebaliknya, tidak sedikit yang mungkin justru memprotes kita karena menanyakan topik-topik tersebut. Pertanyaan kita dianggap “keliru”, tidak perlu, bahkan tidak boleh ditanyakan. Sebagai orang beriman, tugas kita hanya percaya dan mengikuti tuntunan agama tanpa boleh mempertanyakan aspek-aspek sensitif dalam keimanan.
Tapi, betulkah hal-hal sesensitif keimanan tidak boleh dipertanyakan? Kalau begitu, bukankah iman hanya sebatas dogma semata? Kalaupun boleh bertanya, sejauh mana sebetulnya kita boleh bertanya tentang keimanan?
Bicara soal boleh atau tidaknya sebuah perbuatan manusia, maka kita bisa me-refer kembali kepada prinsip-prinsip yang tertuang dalam wahyu Tuhan, yaitu teks Al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Menilik teks-teks Al-Qur’an, kita justru tidak melihat adanya kritikan pedas kepada mereka yang mengajukan pertanyaan tentang keimanan. Justru yang banyak muncul adalah kritikan kepada golongan yang hanya membebek saja mengikuti kepercayaan leluhur tanpa bersikap kritis sedikit pun. Dalam salah satu kisah di awal Surat Al-Baqarah, kita justru melihat bagaimana malaikat, yang notabene adalah makhluk yang paling mena’ati perinah Tuhan, bertanya pada Tuhan tentang hikmah penciptaan manusia. Bukannya menegur keingintahuan malaikat, Allah subhanahu wa ta’ala justru menanggapi pertanyaan malaikat dengan menunjukkan kelebihan yang dimiliki Sayyidina Adam alayhissalam.
Bagaimana dengan teks hadits Nabawi? Betul, Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam diriwiyatkan pernah memperingatkan para sahabat tentang “banyak bertanya” yang menjadi penyabab kehancuran kaum-kaum terdahulu. Tetapi, jika kita melihat teks lengkap hadits tersebut, dan menilik penjelasan para ulama’ soal hadits ini, maka konteksnya berkaitan dengan kaum yang sudah mendapatkan bukti-bukti yang jelas (burhan) tentang keberadaan Tuhan, kenabian, dan adanya hari akhir, tetapi tetap tidak mau mengikuti tuntunan nabi mereka, bahkan justru mempertanyakan perintah agama. Contoh jelasnya adalah kisah tentang Bani Israil yang ketika diminta menyembelih sapi betina justru melemparkan pertanyaan-pertanyaan absurd seperti “apa warna sapinya?” dengan maksud hendak menunda-nunda menjalankan perintah tersebut.
Dari dua contoh kontras di atas, antara kisah malaikat dan kisah Bani Israil, kita bisa menyimpulkan satu hal: baik-buruknya pertanyaan bukan terletak pada proses bertanya itu sendiri, tapi dari niat di balik pertanyaan tersebut. Pertanyaan tentang keimanan yang dipicu oleh keingintahuan yang tulus untuk mencari jawaban, bukan semata-mata demi ego, mempermainkan agama, atau lari dari tanggung jawab moral sebagai makhluk Tuhan, bukanlah hal yang salah. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan yang betul-betul menimbulkan keraguan dalam hati yang bisa mengguncang fondasi keimanan kita justru wajib dicari jawabannya. Ini karena iman dalam agama kita adalah kepercayaan yang berbasis pada bukti yang meyakinkan, bukan pada dugaan ataupun keragu-raguan. Sebagaimana pernyataan salah satu ulama’ era ini, Habib Ali Al-Jufri, “Agama yang tidak bisa menjawab pertanyaan pemeluknya bukanlah agama sejati.”
At the same time, kita sebagai penanya juga perlu untuk tetap rendah hati dan menyadari keterbatasan ilmu kita. Tidak semua pertanyaan yang kita punya langsung bisa kita dapatkan jawabannya. Bisa jadi kita perlu usaha ekstra dalam waktu yang lama untuk mendapatkan jawaban yang kita inginkan. Tapi, yang perlu selalu kita ingat dalam perjalanan mencari jawaban adalah janji Tuhan berikut:
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk Kami, akan Kami tunjukkan mereka jalan-jalan Kami.”