Saintis Tak Percaya Tuhan, Mengapa Tak Ikut Mereka?
"Siapa yang hanya mengekor dalam tauhid, imannya tak akan bebas dari keragu-raguan."
Saat membaca buku-buku sains populer karya saintis yang mengadopsi pandangan naturalisme, bahwa alam semesta adalah segala sesuatu yang ada, tidak jarang muncul pertanyaan terkait pandangan teologis mereka. Para saintis yang jenius saja tidak percaya Tuhan, mengapa kita tidak mengikuti pandangan mereka? Mengapa kita bisa percaya pada produk sains yang mereka hasilkan tapi tidak mau mengikuti kesimpulan yang mereka dapatkan dari sains tentang keberadaan Tuhan? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pertama, sebetulnya tidak pas jika kita menggenarilisir fakta adanya sebagian saintis yang tak percaya Tuhan menjadi “semua saintis tidak percaya Tuhan”. Faktanya, ada banyak sekali saintis yang juga mengimani keberadaan Tuhan. Para saintis di balik revolusi saintifik abad pertengahan seperti Galileo, Newton, Leibniz misalnya justru percaya pada Tuhan. Meskipun sering kita mendengar kisah Galileo dipersekusi oleh kalangan gereja di zamannya, perseteruan tersebut bukanlah soal keberadaan Tuhan, melainkan tentang pertentangan antara pandangan heliosentrisme Galileo dengan geosentrisme Aristoteles yang diadopsi kalangan gereja. Ia justru percaya bahwa alam tidak lain adalah “Book of Nature” yang merupakan ayat-ayat Tuhan di samping kitab suci. Newton, meski mungkin kepercayaannya tidak sesuai pandangan ortodoksi Kristen, tetap percaya pada Tuhan. Saat menulis hukum gravitasinya yang tersohor, ia menyebutkan bahwa keberadaan gravitasi tidak menggantikan peran Tuhan tapi justru menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Leibniz, penemu kalkulus di samping Newton, justru terkenal karena mengajukan argumen rasional keberadaan Tuhan yang dikenal sebagai Leibniz contingency argument. Di era modern pun, banyak saintis yang juga beriman kepada Tuhan. John Lennox, matematikawan asal Oxford, yang bukunya sempat kita bahas di blog ini adalah contoh ilmuwan modern yang juga seorang pengikut Kristen yang taat. Francis Collins, biologis yang memipin project pemetaan genom manusia (Human Genome Project), juga adalah pengikut Kristen yang menginisasi BioLogos Foundation, lembaga yang fokus pada relasi sains dan agama.
Kedua, keahlian seseorang dalam satu hal tidak menggaransi kebenarannya pada hal-hal yang lain. Dalam karyanya al-muniqdz min adh-dholal, Imam Al-Ghazali mengilustrasikan, “Seorang yang ahli dalam ilmu fikih dan ilmu kalam belum tentu dia ahli dalam ilmu kedokteran seperti halnya orang yang bodoh tentang ilmu metafisika belum tentu dia bodoh tentang ilmu nahwu. Bahkan, setiap pekerjaan memiliki orang yang ahli di puncak kepandaiannya kendatipun kebodohan dan ketidaktahuan senantiasa dimiliki olehnya dalam bidang-bidang yang lain.” Kesuksesan saintis mengembangkan teori-teori sains yang sukses mendeskripsikan alam dengan baik tidak menggaransi kebenaran pandangan saintis tersebut tentang hal-hal yang sebetulnya di luar domain sains, termasuk keberadaan Tuhan. Hal ini juga menunjukkan pentingnya membedakan produk saintifik dengan pandangan filosofis seorang saintis. Interpretasi filosofis seorang saintis sangat mungkin bukanlah satu-satunya interpretasi yang koheren dari sebuah teori sains. Mekanika kuantum yang tidak deterministik, misalnya, memiliki beragam interpretasi filosofis yang sejauh ini sama-sama koheren.
Ketiga, pada akhirnya, tidak terlalu penting seberapa banyak orang yang mengadopsi suatu pemikiran. Yang terpenting adalah mengenali kebenaran itu sendiri. Sebagaimana pernyataan yang dinisbatkan pada Sayyidina Ali karramallahu wajhah yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam al-munqidz min adh-dholal:
لَا تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Janganlahlah mengenali kebenaran dari manusianya. Kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan mengenali siapa yang memilikinya”.
Karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan kita, bukan sekedar mengikuti doktrin atau perkataan orang lain saja. Sebagaimana bait Al-Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid:
إِذْ كُلُّ مَنْ قَلَّدَ فِـي التَوْحِيـدِ
إِيمَانُـهُ لَـمْ يَخْـلُ مِـنْ تَـرْدِيـدِ
“Siapa yang hanya mengekor dalam tauhid, imannya tak akan bebas dari keragu-raguan.”
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: