Salah satu pengalaman paling menarik selama tinggal di London adalah merasakan puasa di puncak summer. Durasinya 19 jam: subuh jam 02.30, maghrib 21.30. Pulang tarawih sudah lewat tengah malam. Baru tidur sebentar sudah harus bangun sahur, terkadang sengaja tidak tidur agar tak ketiduran. Pulang dari lab tidak langsung siap-siap berbuka karena waktu buka yang memang masih lama. Tapi, pengalaman ini justru membuat saya semakin menyadari salah satu hikmah mengapa perintah puasa dikaitkan dengan taqwa yang sering diterjemahkan sebagai God-conscious.
Yahya bin Muadz Ar-Razi diriwiyatkan pernah berkata, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu. Siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya." Sebegitu terkenalnya ungkapan ini hingga kerap dianggap hadits Nabi. Imam An-Nawawi saat menjelaskan ungkapan ini berkata, "Siapa yang mengenal dirinya yang penuh kelemahan, yang senantiasa butuh kepada Allah dan penghambaan kepada-Nya, akan mengenal Tuhannya yang Maha Kuasa, yang memiliki sifat ketuhanan, kesempurnaan mutlak, dan sifat-sifat mulia."
Tidak ada aktivitas lain yang menyadarkan betapa lemah dan rapuhnya kita melebihi puasa. Mau seberapa kuat pun kita, seberapa kayanya kita, seberapa berkuasanya kita, tidak makan seharian pasti akan melemahkan tubuh kita. Di titik terlemah itu lah luntur segala bentuk kesombongan kita, muncul kesadaran bahwa kita tak lebih dari makhluk yang tak punya daya-upaya, yang selalu bergantung pada Yang Maha Kuasa.
How perfect is He who is not in need of anything for anything, yet everything is in need of Him for everything.