Mustahilkah Al-Qur'an Terpelihara?
Bagaimana 30 Juz Al-Qur'an Bisa Terpelihara Utuh hingga Era Modern?
Muslim percaya bahwa Al-Qur'an terpelihara dengan utuh sejak era kenabian hingga era modern. Bukan sekedar makna dan kandungannya saja, setiap huruf dan kata yang ada di setiap Mushaf Al-Qur'an saat ini diyakini betul-betul sesuai dengan yang diwahyukan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam empat belas abad silam. Pertanyaannya, masuk akal kah keyakinan ini? Tidakkah turunnya Al-Qur'an yang bertahap sepanjang 23 tahun dan transmisinya yang mengandalkan metode oral, bukan tulisan, membuat terpeliharanya Al-Qur'an menjadi mustahil? Ada dua hal yang menjadi pertanyaan besar di sini: proses dokumentasi Al-Qur'an di era kenabian sendiri dan proses transmisinya pasca era kenabian. Tulisan singkat ini hendak merangkum bagaimana dua proses di atas terjadi dan mengapa proses tersebut memungkinkan terpeliharanya Al-Qur'an kata per kata hingga era modern.
Di era kenabian, Al-Qur'an turun selama 23 tahun, dimulai dari turunnya wahyu pertama di Gua Hiro’ hingga akhir periode kenabian di Madinah. Setiap wahyu yang turun kemudian dihafalkan oleh para sahabat yang sudah masuk Islam dan diajarkan kepada sahabat-sahabat yang lain. Di tahun-tahun selanjutnya, beberapa sahabat seperti Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu ditunjuk sebagai juru tulis wahyu yang bertugas menuliskan wahyu yang turun di berbagai media seperti tulang dan kulit binatang. Selain itu, di setiap bulan Ramadhan, diriwayatkan bahwa malaikat Jibril datang me-review seluruh wahyu yang telah turun bersama Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, termasuk dua kali di Ramadhan terakhir sebelum beliau wafat.
Di akhir kenabian, berbagai riwayat mencatat banyak tokoh sahabat yang menghafal seluruh teks Al-Qur'an, termasuk Sayyidina Utsman radhiyallahu ‘anhu yang masyhur membaca seluruh Al-Qur'an dalam shalat saat Ramadhan. Bisa kita lihat bahwa pendokumentasian Al-Qur'an di era kenabian mengandalkan beberapa metode, yaitu transmisi oral, memori generasi sahabat, penulisan di berbagai media oleh juru tulis wahyu, dan review setiap tahunnya. Ini memastikan bahwa seluruh ayat yang turun terdokumentasi dan utuh, bahkan meskipun Rasulullah sendiri adalah seorang yang ummi, yang tak mengenal baca-tulis.
Bagaimana dengan setelah era kenabian? Sebagaimana di era sebelum kenabian, metode transmisi utama Al-Qur'an adalah transmisi oral. Yang menjadi pembeda utama, di era ini Al-Qur'an ditransmisikan secara massal atau mutawatir. Artinya, ada sedemikian banyak orang yang mendengar kemudian menghafalkan Al-Qur'an dari generasi sahabat yang kemudian berganti mentransmisikan Al-Qur'an ke generasi setelahnya, sedemikian rupa sehingga jumlahnya yang besar di setiap generasi tidak memungkinkan mereka bersepakat dalam kebohongan tentang konten yang mereka transmisikan. Sebagaimana pernah kita singgung, informasi yang ditransmisikan secara mutawatir menghasilkan pengetahuan meyakinkan. Transmisi Al-Qur'an secara massal ini dimungkinkan karena peradaban Islam berkembang sangat pesat dan diyakini begitu banyak orang di era akhir kenabian. Bahkan, bukan sekedar teksnya saja, tetapi cara membaca huruf-hurufnya pun tertransmisi secara massal, yang kemudian menjadi ilmu tajwid. Al-Qur'an hasil transmisi ini lah yang kemudian mengerucut ke para imam qira'at seperti Imam Asim, guru Imam Hafsh, yang bacaannya paling populer diajarkan di dunia Islam saat ini, termasuk Indonesia. Proses ini memungkinkan kita yang hidup di era modern ini untuk belajar bagaimana melafazkan Al-Qur'an lewat guru yang tersambung jalur periwayatannya ke era kenabian!
Meskipun transmisi utama Al-Qur'an melalui transmisi oral, usaha pembukuan Al-Qur'an juga dilakukan sangat awal di era keislaman. Usaha ini melanjutkan usaha penulisan yang sudah dilakukan semasa Rasulullah hidup. Proses pengumpulan pertama teks-teks Al-Qur'an yang ditulis di era kenabian dilakukan di era Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hanya dalam hitungan bulan sejak wafatnya Rasulullah. Proses ini kemudian dilakukan kembali di era Utsman radhiyallahu ‘anhu hingga menghasilkan teks standar Mushaf Utsmani yang kita kenal saat ini. Dan sahabat yang ditugaskan memimpin kedua proses di atas tak lain adalah Zaid bin Tsabit yang menjadi salah satu juru tulis wahyu di era kenabian sendiri. Tidak heran jika berbagai manuskrip Al-Qur'an tertua, seperti manuskrip Birmingham yang ditemukan tahun 2015 dan berdasarkan carbon dating dipercaya berasal dari era Rasulullah masih hidup atau hanya beberapa tahun setelah beliau wafat, memuat teks Al-Qur'an persis seperti yang kita miliki saat ini.
Tapi, tidakkah mentransmisikan 30 Juz Al-Qur'an berbasis transmisi oral sesuatu yang mustahil? Jawabnya: tidak, bahkan ini sangat mungkin terjadi menimbang beberapa faktor kontekstual terkait Al-Qur'an. Salah satunya: Muslim percaya bahwa setiap kata dalam Al-Qur'an betul-betul Kalam Ilahiah langsung dari Tuhan, bukan sekedar inspirasi yang direartikulasikan oleh Nabi, malaikat, atau orang lain. Maka, proses transmisi oral ataupun pengkopian manuskrip dijalankan dengan sangat berhati-hati, lebih daripada dokumen pada umumnya. Sejarah mencatat tidak sedikit yang membuat hadits palsu, tapi memalsukan atau menggantikan kalam yang letter by letter dari Tuhan adalah sesuatu yang sangat berbeda. Ini mengapa setiap orang di era awal keislaman, bahkan semua kalangan menyimpang seperti Khawarij sekalipun, memiliki Al-Qur'an yang sama.
Faktor lain yang juga mendukung terpeliharanya Al-Qur'an adalah fakta bahwa Al-Qur'an adalah living tradition, bukan teks tersembunyi yang tak bisa diakses khalayak ramai. Membacanya, menghafalnya, mengajarkannya berpahala besar. Ia dibaca saat sholat lima kali dalam sehari dan bahkan dibaca keseluruhannya saat shalat tarawih Ramadhan. Ia dibaca secara konsisten dan dikhatamkan dalam sebulan atau sepekan oleh begitu banyak sahabat ridwanullahi ‘alaihim ajma'in. Al-Qur'an juga mendorong munculnya ilmu-ilmu keislaman yang menggunakannya sebagai acuan. Hukum fiqih sehari-hari mulai dari ibadah hingga mu'amalah digali darinya. Bahasa Arab sebagai disiplin ilmu pun mengacu padanya. Itu mengapa banyak sekali bagian dari teks Al-Qur'an yang menjadi masyhur karena terus-menerus diacu di berbagai bidang keilmuan.
Semua faktor di atas menghasilkan kesimpulan bahwa bukan hanya Al-Qur'an terpelihara secara meyakinkan, justru sebaliknya, mustahil ada perubahan pada teks Al-Qur'an sebagai living tradition karena akan langsung diketahui oleh paling tidak sebagian masyarakat. Tentu saja semua proses di atas adalah sebab-sebab natural semata karena esensinya Tuhan lah yang langsung menjaga keterpeliharaan wahyu-Nya sebagaimana janji-Nya dalam Surat Al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: