Mengapa Tidak Ada Ilmu Teologi di Era Sahabat
Dan argumen Taftazani tentang pentingnya Ilmu Teologi di Era Setelah Sahabat
Salah satu keberatan yang muncul atas teologi Islam (kalam) sebagai ilmu yang menggunakan rasionalitas untuk sampai pada pokok-pokok keimanan adalah fakta sejarah bahwa ilmu ini tidak eksis di era para sahabat ridwanullahi ‘alayhim ajma’in. Jika generasi sahabat, yang disepakati oleh seluruh Muslim Sunni sebagai generasi terbaik, tidak menggunakan ilmu ini, bukankah artinya ilmu tersebut tidak diperlukan? Bahkan, bukankah artinya ilmu tersebut adalah contoh bid’ah dalam agama yang terlarang? Kalau ilmu ini baik, bukankah generasi terbaik lah yang pertama kali akan mengembangkannya?
Imam Sa’aduddin at-Taftazani punya penjelasan menarik dalam karya teologis beliau yang tersohor, Syarh al-Aqaid an-Nasafiyah. Di awal tulisan, beliau menjelaskan bahwa ilmu kalam belum berkembang sebagai disiplin ilmu di generasi Muslim awal karena tidak adanya kebutuhan untuk itu. Ini disebabkan oleh murninyanya iman para sahabat akibat keberkahan dari kesempatan berinteraksi dan belajar langsung di bawah bimbingan Nabi serta dekatnya zaman mereka ke era kenabian. Di era awal ini pun adanya perdebatan ataupun pertentangan teologis masih terbilang sedikit jumlahnya. Selain itu, karena banyaknya tokoh otoritatif di generasi sahabat, masih sangat mungkin bagi generasi ini untuk langsung merujuk kepada tokoh-tokoh otoritatif saat muncul perdebatan. Baru kemudian seiring dengan berkembangnya zaman dan munculnya beragam pandangan yang berbeda, muncul kebutuhan untuk dikembangkannya disiplin ilmu yang secara terstruktur memaparkan argumen-argumen keimanan. Di sinilah kemudian teologi/kalam sebagai ilmu yang dilengkapi bukti-bukti dan penjelasan atas persoalan-persoalan yang lebih mendalam menjadi jawaban atas kebutuhan zaman.
Di samping argumen at-Taftazani di atas, keberatan atas ilmu teologi semata-mata karena tidak ada di generasi sahabat esensinya juga berlaku untuk ilmu-ilmu yang lain. Di era sahabat pun belum ada ilmu fiqih (jurisprudensi), ilmu hadits, ushul fiqh (filsafat hukum Islam), dan lain-lain. Tapi, bukan berarti munculnya ilmu-ilmu ini di era belakangan menjadikannya tidak perlu atau bahkan bid’ah yang terlarang dalam agama.
Selain itu, tidak adanya ilmu kalam sebagai disiplin ilmu di era sahabat bukan berarti ketiadaan esensi dari ilmu kalam itu sendiri. Jika kita melihat ilmu kalam sebagaimana didefinisikan at-Taftazani dalam Tahdzib al-Mantiq wa al-Kalam yaitu “ilmu tentang poin-poin keimanan berdasarkan bukti yang meyakinkan”, maka tentu saja kontennya eksis di generasi sahabat karena kontennya tak lain adalah bukti-bukti keimanan dari Al-Qur’an yang diajarkan langsung oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, tak heran kalau sejarah juga mencatat bagaimana generasi sahabat melakukan perdebatan teologis dengan golongan-golongan yang menyimpang. Contohnya adalah yang dilakukan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘an humaa saat berdebat dengan kalangan Khawarij. Bahkan, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun melakukan perdebatan teologis seputar status ketuhanan Sayyidina ‘Isa ‘alayhissalam dengan para pendeta Nasrani dari Najran semasa hidup beliau sebagaimana didokumentasikan dalam Surat Ali Imran.
Dari sini kita bisa menyimpukan bahwa teologi sebagaimana ilmu-ilmu keislaman yang lain adalah sesuatu yang dinamis dan dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman. Konten-kontennya tentu saja tidaklah baru karena semuanya bersumber dari panduan wahyu, baik Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah. Teologi kemudian mengkristalisasi menjadi ilmu untuk menjawab tantangan zaman, seperti tantangan teologis dari kalangan Mu’tazilah dan Falasifah. Dengan argumen yang sama, kita bahkan bisa menyimpulkan lebih jauh: di zaman kita ketika keberadaan Tuhan saja bebas dipertanyakan, kebutuhan akan ilmu kalam justru semakin krusial untuk membantu kita menjawab tantangan zaman saat ini.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:
Sehat selalu prof ataka dan keluarga 🙏 sangat bermanfaat