Keberatan yang sering mengemuka tentang teologi Islam adalah bagaimana akal dianggap memiliki peran yang terlalu dominan untuk mengetahui keberadaan Tuhan. Padahal, akal manusia sangat terbatas sedangkan Tuhan adalah Dzat Yang Maha Suci dari keterbatasan. Bagaimana bisa akal yang terbatas membahas Tuhan yang Tak Terbatas? Keterbatasan akal mestinya mengharuskan kita untuk bergantung sepenuhnya pada wahyu untuk mengenal Tuhan, bukan?
Keberatan di atas sebetulnya tidak sepenuhnya keliru. Premis bahwa akal manusia terbatas sedangkan Dzat Tuhan Maha Suci dari keterbatasan sama-sama benar. Pernyataan bahwa akal tidak mampu memahami Tuhan seutuhnya juga diriwiyatkan dari beberapa tokoh sahabat. Contoh yang sering dinisbatkan kepada Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq atau ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma: “Al-’ajzu ‘an darak al-idraki idrakun, Ketidakmampuan untuk mencapai pengetahuan (tentang Tuhan) adalah pengetahuan itu sendiri”. Pernyataan sejenis juga kita temukan dalam tradisi Kristen, seperti yang dinisbatkan kepada teolog St. Agustinus, “Si enim comprehendis, non est Deus. Jika kau bisa memahaminya seutuhnya, maka itu bukan Tuhan.”
Tapi, pernyataan tersebut tidak berimplikasi bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran dalam mengenal Tuhan. Ketidakmampuan akal memahami Tuhan seutuhnya bukan berarti akal sama sekali tak bisa mendapatkan kesimpulan apa pun tentang Tuhan. Sebagai contoh: akal bisa sampai pada kesimpulan bahwa mustahil berhala adalah Tuhan bahkan tanpa informasi dari wahyu karena ketidakberdayaannya dalam menciptakan dan fakta bahwa ia butuh pada sesuatu yang lain untuk menjadikannya ada.
Justru, fakta bahwa Tuhan Suci dari segala keterbatasan, salah satu premis yang digunakan di atas, butuh bukti rasional yang didapat melalui akal. Fakta bahwa alam semesta yang bersifat mungkin ini ada alih-alih tiada menunjukkan adanya Dzat Yang Bersifat Wajib dan tak butuh kepada penyebab apa pun. Jika Dzat ini memiliki keterbatasan, otomatis Ia butuh kepada penyebab untuk menentukan adanya batasan-batasan ini. Ini mustahil karena bertentangan dengan sifat-Nya Yang Wajib dan tak butuh sebab. Kesimpulannya: Tuhan Yang Bersifat Wajib ini Maha Suci dari segala batasan. Kesimpulan ini berimplikasi pada fakta lain: mustahil akal kita, yang notabene adalah ciptaan yang terbatas, mendapatkan gambaran utuh tentang Dzat Tuhan Yang Maha Sempurna dari segala batasan.
Artinya, akal bisa dan dibutuhkan untuk sampai pada kesimpulan adanya Tuhan yang memiliki Sifat-Sifat Tertentu seperti Suci dari kekurangan. At the same time, reason can only take us so far. Di luar kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang keberadaan Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya, kita hanya bisa mengetahui Sifat-Sifat Tuhan yang lain jika Tuhan memberitahu kita melalui Firman yang Ia sampaikan lewat utusan-Nya. Inilah salah satu himah di balik risalah kenabian: agar kita lebih mengenal Tuhan yang Menciptakan kita langsung dari Firman-Nya meski terbatasnya akal kita.