Mengapa Generasi Salaf Menolak Teologi Filosofis
Dan mengapa menekuni teologi justru adalah kewajiban komunal
Keberatan terhadap teologi filosofis atau kalam bukan sekedar soal ada-tidaknya kalam sebagai disiplin ilmu di tiga generasi awal Muslim (salaf). Faktanya, ada banyak sekali nukilan perkataan dari tokoh-tokoh terkemuka di era salaf yang mengkritik keras ilmu teologi. Tidakkah kritikan-kritikan ini menunjukkan bahwa menekuni ilmu teologi, alih-alih kewajiban, justru terlarang? Tulisan ini hendak merespon pertanyaan-pertanyaan di atas, khususnya dari kaca mata Al-Ghazali dan As-Sanusi.
Dalam karya beliau Qawaid al-Aqaid, yang tak lain adalah kitab ke-2 dari magnum opus-nya yang melegenda yaitu Ihya’ Ulumiddin, Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan panjang lebar tentang pandangan beliau soal hukum menekuni ilmu teologi. Beliau memaparkan bahwa dalam sejarah, para ulama’ memang terbelah menjadi dua kubu yang berbeda cukup tajam: mereka yang menganggap teologi filosofis terlarang dan mereka yang justru menganggapnya sebagai kewajiban.
Pihak yang menganggap teologi filosofis terlarang punya beberapa alasan. Salah satunya memang karena banyak sekali nukilan dari tokoh-tokoh generasi salaf yang mengkritik ilmu ini dan mereka yang mempelajarinya. Imam Asy-Syafi'i, misalnya, diriwayatkan berkata bahwa ahli kalam selayaknya dicambuk dan diarak agar jera. Imam Ahmad juga mengkritik Imam Harits al-Muhasibi karena karyanya dalam ilmu kalam memuat kritik terhadap pandangan menyimpang. Pernyataan senada juga bisa ditemukan dari Imam Malik ataupun murid-murid utama Imam Abu Hanifah seperti Imam Abu Yusuf. Jika para tokoh terkemuka yang menjadi panutan Sunni sampai mengkritik sekeras ini, bukankah ini menunjukkan keburukan ilmu ini? Argumen lainnya, mirip seperti pembahasan kita di tulisan lain, jika ini penting, pasti ilmu ini diajarkan langsung oleh Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabat ridwanullahi ‘alayhim ‘ajma'in.
Tapi, pihak yang berseberangan juga punya argumen mengapa teologi filosofis wajib bagi mereka. Bagi mereka, ilmu kalam tak lain berisi argumen-argumen dari Al-Qur'an sendiri yang digunakan untuk membuktikan pokok-pokok keimanan seperti keberadaan dan keesaan Tuhan, validitas kenabian, dan hari akhir. Kalau ilmu kalam dilarang semata-mata karena istilahnya yang baru, ini juga berlaku untuk disiplin ilmu yang lain. Kalau kalam dilarang karena perdebatan yang bisa menuju kesombongan, ilmu lain pun juga begitu. Justru, Rasulullah dan para sahabat sendiri pun terlibat dalam perdebatan teologis sebagaimana Al-Qur'an pun berisi argumentasi terhadap pandangan-pandangan yang menyimpang.
Al-Ghazali kemudian menjelaskan pandangan beliau sendiri soal ini. Bagi beliau, ilmu kalam memiliki banyak kelebihan tapi juga sekaligus banyak kekurangan. Kelebihannya tentu saja ilmu ini bisa melindungi aqidah orang-orang awam dari pandangan-pandangan bid'ah yang menyimpang melalui argumentasi. Tentu saja ini berlaku hanya pada situasi dan kondisi tertentu dengan kadar yang sesuai. Tapi, beliau juga menyebutkan adanya potensi bahaya dari mempelajari ilmu ini. Misalnya, pemula yang mempelajari ilmu ini justru bisa terekspos dengan pandangan menyimpang yang boleh jadi awalnya tidak ia ketahui. Ini justru bisa memunculkan keraguan yang boleh jadi tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh argumentasi ilmu kalam. Mengaplikasikan ilmu kalam tidak dengan bijak juga justru bisa semakin meneguhkan orang yang sesat untuk tetap dalam kesesatan sebagaimana kondisi psikologis manusia yang selalu ingin terlihat benar dalam perdebatan.
Bagi Al-Ghazali, ini menjelaskan mengapa banyak tokoh generasi salaf yang mencela ilmu kalam karena adanya banyak potensi keburukan yang dihasilkannya. Tapi, bagi beliau, ketika penyimpangan telah menjamur, teologi justru menjadi wajib untuk melindungi keimanan umat. Ini persis yang dicontohkan generasi sahabat sendiri seperti Sayyidina Ali ataupun Ibnu Abbas radhiyallahu ‘an humaa saat merespons kalangan ekstrim Khawarij. Artinya: mempelajari ilmu kalam di level individu bisa jadi mubah, sunnah, bahkan wajib, tapi juga bisa menjadi haram, tergantung situasi dan kondisi masing-masing. Tapi, mempelajari ilmu kalam di level komunal adalah wajib agar selalu ada umat Islam yang siap berargumentasi mempertahankan kebenaran ajaran Islam. Karena itu, bagi beliau huukumnya wajib komunal (fardhu kifayah).
As-Sanusi melangkah lebih jauh lagi. Dalam karya beliau, Syarh Aqidah Al-Wustho, beliau menjelaskan bahwa di era tokoh-tokoh generasi salaf yang mengkritik keras ilmu kalam, para praktisi ilmu ini semuanya adalah kalangan yang menyimpang dari kepercayaan Sunni seperti Mu'tazilah. Artinya, ilmu kalam di era itu tentu saja identik dengan golongan menyimpang. Ini yang menyebabkan penolakan keras dari para Imam saat itu. Tapi, yang terjadi kemudian justru berbeda: tokoh-tokoh seperti Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi lah yang justru menggunakan metode ilmu kalam untuk membantah Mu'tazilah dan mengokohkan teologi Sunni. Mengatakan bahwa seluruh generasi salaf menolak teologi filosofis tidaklah tepat, karena kedua tokoh ini pun juga berasal dari era salaf. Tokoh-tokoh ilmu kalam selanjutnya pun jelas sekali adalah tokoh-tokoh utama dari golongan Sunni, seperti Al-Baqillani ataupun Al-Juwayni. Maka, tidak tepat menganggap penolakan sebagian generasi salaf terhadap ilmu kalam sebagai sesuatu yang mutlak tanpa melihat konteks penolakan tersebut.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan komentar menarik As-Sanusi terhadap pernyataan Asy-Syafi'i di atas. Kalau Asy-Syafi'i menyuruh untuk mencambuk ahli kalam di zamannya (yang notabene Mu'tazilah), maka yang paling mengikuti perintah Asy-Syafi'i ini justru para ahli kalam Sunni karena tidak ada yang “mencambuk” ahli kalam Mu'tazilah lewat argumentasi rasional yang kokoh seperti “cambukan” dari para ahli kalam Sunni hingga pengaruh Mu'tazilah di era setelahnya hampir tak tersisa.
Semoga Allah meridhoi semua niat, usaha, dan ijtihad para ulama’ pendahulu kita.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: