Memahami Hadits Tinggi Nabi Adam - Bagian 1
Ringkasan Buku Muntasir Zaman "The Height of Prophet Adam"
Salah satu topik yang sering muncul ketika membahas persinggungan antara sains dan wahyu adalah soal tinggi Nabi Adam ‘alayhissalam yang dipercaya setinggi 60 hasta atau sekitar 30 meter. Tulisan ini hendak membahas ringkas perdebatan tersebut dengan mengacu pada buku karya ulama’ muda, Mufti Muntasir Zaman, “The Height of Prophet Adam: at The Crossroad of Science and Scriptures”. Sebagai catatan, karena keterbatasan space dan waktu, tulisan ini tidak akan masuk sangat dalam ke seluruh aspek perdebatan di atas, khususnya persoalan analisis riwayat hadits-hadits yang menjadi topik diskusi. Pembaca yang tertarik bisa langsung mendalami buku di atas.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan:
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ مِنْ الْمَلاَئِكَةِ، فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ. فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالُوا: السَّلاَمُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ. فَزَادُوهُ: وَرَحْمَةُ اللَّهِ. فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ، فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الآنَ.
“Allah menciptakan Adam dalam bentuknya. Tingginya enam puluh hasta. Kemudian, Allah berfirman: “Pergilah lalu ucapkan salam pada mereka itu, kelompok malaikat, lalu dengarkan jawaban mereka. Itulah salammu dan salam keturunanmu.” Beliau mengucapkan: “Assalamu'alaykum”. Mereka menjawab: “Assalamu'alayka wa rahmatulloh”. Maka mereka menambahkan “wa rahmatulloh”. Setiap orang yang masuk surga dalam bentuk seperti Adam, dan setelahnya tinggi tubuh manusia terus berkurang hingga sekarang.”
Dari hadits di atas, ada dua frase yang menjadi fokus utama perdebatan, yaitu:
Penyebutan tinggi Nabi Adam 60 hasta.
Penyebutan bahwa tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.
Ada beberapa alasan mengapa dua poin di atas menjadi bahan perdebatan. Pertama, poin kedua seperti menyiratkan bahwa tinggi manusia di era generasi sebelum kita tidaklah seperti saat ini, melainkan lebih tinggi secara gradual hingga mencapai 60 hasta atau setara 30 meter. Sampai saat ini, tidak ada bukti arkeologis yang mendukung poin ini. Seluruh temuan fosil hominid yang ditemukan, baik manusia modern (homo sapiens) maupun spesies-spesies lainnya tidak memiliki tinggi yang berbeda signifikan dengan kita sekarang. Jika dalam sejarah betul-betul ada manusia ataupun hominid lain yang serupa yang ukuranya lebih besar secara signifikan, terlebih jika betul semakin tinggi secara gradual seiring semakin jauh eranya dari zaman kita, mestinya kita bisa menemukan jejak fosil yang mengindikasikan hal tersebut. Kalau kita bisa menemukan fosil-fosil makhluk purba berukuran sangat besar seperti mammoth ataupun dinosaurus serta memprediksi usianya lewat lapisan tanah tempatnya ditemukan, kecil kemungkinan kita tak bisa menemukan fosil hominid berukuran serupa jika memang ada.
Kedua, bukan hanya bukti negatif ketiadaan fosil hominid raksasa, sains juga memberi kita bukti positif mustahilnya keberadaan manusia atau hominid raksasa secara saintifik, minimal dengan hukum-hukum alam yang kita ketahui saat ini. Jika tubuh manusia diperbesar dengan mempertahankan proporsi anatomis yang sama, maka massa tubuh akan meningkat mengikuti faktor kubik, sementara luas penampang otot dan tulang hanya akan meningkat mengikuti faktor kuadrat. Artinya, manusia yang sangat besar akan memiliki berat yang sangat besar, tetapi luas penampang tubuhnya untuk menopang berat tersebut tidak meningkat dengan sebanding. Ringkasnya, dengan hukum fisika yang sama, banyak ketidakseimbangan struktural dan fisiologis yang akan terjadi, membuat manusia dengan properti biologis yang sama tapi berukuran raksasa menjadi tidak mungkin untuk bertahan hidup.
Dari poin-poin di atas, kita pun bisa menyimpulkan bahwa ada potensi konflik atau pertentangan antara klaim saintifik dan makna yang terkandung dalam wahyu, yaitu teks hadits di atas, terkait tinggi Nabi Adam ‘alayhissalam. Lalu, bagaimana mencari solusinya? Kita pernah membahas dalam salah satu serial di blog ini bagaimana mencari jalan keluar ketika ada “pertentangan” antara sains dan wahyu. Ringkasnya, framework yang digunakan adalah sebagai berikut:
Menentukan apakah betul-betul terjadi pertentangan yang kontradiktif antara klaim saintifik dan wahyu atau tidak. Sebagaimana pernah saya singgung, sains dan wahyu sama-sama sumber pengetahuan yang valid sehingga mestinya tidak ada pertentangan hakiki antara keduanya, meskipun mungkin saja ada “apparent conflict”.
Menentukan level keyakinan epistemis dari masing-masing klaim, baik klaim saintifik ataupun wahyu. Sebagaimana pernah saya bahas, ada beragam level keyakinan yang dimiliki suatu pengetahuan, baik sains ataupun wahyu. Ada yang sifatnya definitif-konklusif (qath'iy), ada juga yang sifatnya probabilistik atau tidak pasti (dzanniy). Level keyakinan wahyu pun bisa dinilai dari perspektif transmisi (tsubut), yaitu seberapa yakin kita bahwa informasi tersebut betul-betul bersumber dari Nabi, dan dari perspektif indikasi makna (dalalah), yaitu apakah hanya ada satu makna yang mungkin dari suatu teks wahyu.
Mencari jalan keluar terbaik berbekal poin-poin di atas. Bisa jadi solusinya adalah:
Jam’ atau harmonisasi antara kedua klaim jika memungkinkan,
Tarjih, atau memprioritaskan klaim dengan nilai keyakinan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan yang bersifat qath'iy dibandingkan pengetahuan yang bersifat dzanniy, atau
Tawaqquf, atau menunda pengambilan keputusan sampai ada bukti-bukti baru yang menguatkan salah satu sumber pengetahuan.
Di tulisan selanjutnya, kita akan melihat bagaimana prinsip-prinsip di atas bisa kita gunakan untuk menganalisa topik terkait tinggi Nabi Adam dan keturunannya, insyaallah.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: