Langit selalu menjadi objek pertanyaan manusia dari masa ke masa. Berbagai revolusi dalam sejarah sains, a paradigm shift seperti istilah Thomas Kuhn, berawal dari berubahnya pemahaman kita tentang langit. Bentuk bulat dari bayang-bayang Bumi yang menutupi Bulan saat gerhana mengubah persepsi moyang kita yang sebelumnya meyakini bentuk Bumi yang datar. Ketidakcocokan teori geosentris Ptolemy dengan berbagai pengamatan benda langit memicu revolusi Copernicus yang menempatkan matahari sebagai pusat tata surya. Teleskop Galileo dan teori planet Kepler ikut mendorong revolusi berikutnya: Newtonian physics yang mampu menjelaskan gerakan benda langit maupun bumi dengan 1 hukum yang sama. Revolusi selanjutnya yang digawangi oleh Relativitas Umum Einstein juga pertama kali terkonfirmasi lewat pengamatan langit, bagaimana fenomena gravitational lensing mengkonfirmasi keunggulan teori Einstein dibandingkan Newton. Pengamatan Hubble bahwa cahaya dari galaksi yang jauh mengalami "pergeseran-merah" memicu revolusi selanjutnya: bahwa alam semesta mengembang yang membawa kita kepada kesimpulan bahwa ia bermula.
Tetapi, terlepas dari sejarah panjang bagaimana "langit mengajari manusia", ia juga memunculkan pertanyaan baru bagi kita. Objek-objek langit yang bisa kita amati mestinya akan berperilaku berbeda di bawah hukum gravitasi yang kita tahu. Artinya, hukum gravitasi Einstein keliru atau ada "objek tak kasat mata" di luar sana: dark matter. Pengamatan juga menunjukkan bahwa semesta kita bukan hanya mengembang, tapi mengembang semakin cepat, yang memunculkan istilah dark energy.
Barangkali, pelajaran terpenting yang diajarkan langit justru bukan fakta-fakta di atas, tapi tentang menjadi rendah hati: betapa kita tak lebih dari makhluk kecil yang tak berdaya, yang tak mengetahui kecuali sedikit.
Gambar: Foto terbaru "langit" tangkapan James Webb Telescope, 2022.