Ibadah dalam Islam hampir selalu memiliki keterkaitan dengan fenomena alam. Penentu waktu sholat adalah posisi matahari. Penentu waktu zakat, puasa, dan haji adalah posisi bulan. Saat terjadi fenomena alam unik seperti gerhana pun, Muslim diperintahkan untuk menjalankan ibadah khusus. Tidak heran jika ilmu alam, khususnya astronomi, berkembang pesat selama berabad-abad di dunia Islam. Bahkan, menurut sejarawan sains George Saliba, demarkasi astronomi sebagai disiplin ilmu yang terpisah dari astrologi baru dimulai saat ilmu ini masuk ke dunia Islam dari Yunani.
Tapi, apa hubungan antara ibadah dengan fenomena alam?
Salah satu hikmah di balik keterkaitan tersebut bisa jadi karena alam dalam kacamata agama adalah tanda keberadaan dan kebesaran Tuhan. Lewat keteraturan alam, seperti pergerakan matahari dan bulan yang konsisten, Tuhan seolah-olah mengajarkan kita untuk senantiasa mengingat kebesaran-Nya. Tuhan seperti ingin berkata melalui keluarbiasaan ciptaan-Nya, betapa kita tak punya alasan untuk menyombongkan apa pun dan tiada layak menghambakan diri pada siapa pun selain-Nya.
Seperti yang ditulis Al-Laqqani:
فَانْظُرْ إِلَى نَفْسِكَ ثُمَّ انْتَقِلِ ... لِلْعَالمَ العُلوِيِّ ثُمَّ السُّفْلِي
- تَجِدْ بِهِ صُنْعًا بَدِيعَ الْحِكَمِ ... لكِنْ بِهِ قامَ دَلِيلُ الْعَدَمِ
"Perhatikan dirimu sendiri lalu berpindahlah,
Pada alam yang tinggi dan yang rendah,
Kau temukan padanya ciptaan yang elok nan sempurna,
Tapi dengannya terkandung bukti ia fana."