Di era modern ini, muncul keberatan terhadap pandangan yang ingin membuktikan validitas kenabian melalui fenomena di luar regularitas yang dikenal sebagai mu’jizat. Mempercayai mu’jizat di era sains modern dianggap ketinggalan zaman dan tidak lagi relevan. Bagi kalangan ini, bukti kenabian tidak bergantung pada terjadinya mu’jizat. Fakta bahwa seorang Nabi adalah seseorang yang jujur dan tidak pernah berbohong, serta memiliki akhlaq yang terbaik, dianggap cukup sebagai bukti kenabian. Bagi mereka, apa pun yang diriwayatkan dalam Al-Qur’an atau Hadits yang seperti mengindikasikan peristiwa di luar kebiasaan harus dipalingkan maknanya dari makna literalnya menjadi makna metaforis. Jika perlu, fenomena-fenomena ini pun harus bisa dijelaskan dari perspektif sains modern.
Tanggapan pertama dan terpenting dari keberataan semacam ini adalah dengan membuktikan mungkinnya fenomena mu’jizat secara rasional. Jika kita berhasil membuktikan keberadaan Tuhan Yang Maha Berkuasa, Berkehendak, dan menjadi penyebab yang Esa atas semua yang terjadi di dunia ini setiap saat, maka fenomena mu’jizat pun menjadi masuk akal. Apakah fenomena alam terjadi secara reguler atau ada anomali, semuanya mungkin karena esensinya semuanya tak lain adalah Perbuatan Tuhan Yang Bebas Berkehendak. Persoalannya kemudian bergeser menjadi apakah peristiwa mu’jizat betul-betul terjadi secara historis atau tidak. Kita pernah membahas soal ini di tulisan lain, bagaimana ketidakmampuan bangsa Arab membalas tantangan Al-Qur’an adalah bukti kemu’jizatan linguistika Al-Qur’an. Pembaca yang tertarik bisa membaca lebih dalam di Buku “Logika Keimanan”.
Selanjutnya, begitu kita membuktikan terjadinya mu’jizat di tangan Nabi, yaitu sesuatu di luar regularitas yang tak bisa direplikasi oleh siapa pun, maka ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Tuhan sedang mengkonfirmasi klaim kenabian beliau. Fakta mu’jizat sebagai sesuatu di luar regularitas pun membuatnya tidak akan bisa dijelaskan oleh teori sains karena sains justru mengasumsikan regularitas untuk menghasilkan teori-teori yang bisa mendeskripsikan bagaimana alam bekerja. Maka, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun Hadits Nabi yang memuat peristiwa mu’jizat agar sesuai dengan sains adalah langkah yang keliru. Kita pernah membahas bagaimana wahyu by default harus dimaknai literal sampai ada bukti kuat yang mengindikasikan makna figuratif.
Lalu, bagaimana dengan bukti-bukti lain seperti fakta bahwa Nabi tidak pernah berbohong? Fakta bahwa Nabi tidak pernah berbohong serta memiliki akhlaq yang terbaik memang merupakan salah satu bukti pendukung validitas kenabian. Begitu juga dengan beragam bukti kenabian lain seperti penyebutan ciri-ciri beliau di banyak tempat di kitab-kitab umat sebelumnya ataupun komprehensifnya syari’at yang beliau bawa. Tapi, in itself, fakta bahwa seseorang tidak pernah berbohong tidak secara rasional menggaransi bahwa orang tersebut akan selalu berkata jujur. Lagi-lagi kita terjebak pada problem induksi di sini: peristiwa yang terjadi di masa lalu tidak bisa menggaransi pasti berulangnya peristiwa tersebut di masa depan.
Untuk menjadikan fakta-fakta di atas valid sebagai bukti kenabian secara rasional, kita harus mengkombinasikan semuanya untuk sampai pada kesimpulan paling masuk akal. Argumen semacam ini bukanlah induksi, tapi inference to the best of explanation: fakta bahwa Nabi tidak pernah berbohong, memiliki akhlaq mulia, datang membawa syariat yang komprehensif meskipun beliau tak memiliki guru, dan bukti-bukti lainnya hanya bisa dijelaskan jika beliau betul-betul Utusan Tuhan. Tapi, poin pentingnya: validnya argumen semacam ini tidak menegasikan validitas mu’jizat sebagai bukti kenabian. Mu’jizat tetap sah sebagai bukti kenabian.
Bahkan, di luar bukti-bukti di atas, mu’jizat tetaplah diperlukan sebagai bukti terkuat kenabian. Mawlana Asyraf ‘Ali Ath-Thahanawi dalam karya beliau, Al-Intibahat al-Mufidah menjelaskan bahwa tanpa mu’jizat, bisa saja orang-orang keliru menganggap setiap orang bijak yang seperti tak pernah berbohong dan seperti membawa ajaran yang mulia sebagai Utusan Tuhan. Sebaliknya, fenomena mu’jizat adalah sesuatu yang unik terjadi hanya pada seseorang yang mengklaim kenabian, berbeda dengan fenomena-fenomena lainnya. Lebih jauh lagi, Imam Sanusi dalam karya beliau Syarh Aqidah Wustho, justru menegaskan bahwa bukti-bukti seperti kejujuran dan akhlaq beliau itu pun esensinya adalah mu’jizat yang juga tak bisa direplika. Dalam konteks ini lah kita bisa mengatakan bahwa bukti kenabian yang valid hanyalah mu’jizat, bukan untuk menegasikan bukti-bukti seperti akhlaq rasul, tapi justru menegaskan bahwa semua bukti-bukti ini masuk dalam kategori mu’jizat yang semakin menguatkan validitas klaim kenabian Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: